DISPUSIP JAKARTA, INDONESIA - Penyerbuan Jepang ke wilayah Indonesia dilakukan setelah Jepang berhasil menguasai Burma, Philipina, dan Malaya (Notosusanto, 1979:17-20; Sopandi, 1996:26). Setelah pendaratan tentara Jepang pada tanggal 5 Maret 1942, Belanda mendeklarasikan Ibukota Batavia sebagai “kota terbuka” yang berarti bahwa kota itu tidak akan dipertahankan oleh pihak Belanda (Kartodirdjo et al, 1975:2; Sopandi, 1996:26).
Batavia sebagai salah satu pusat administrasi yang digunakan pemerintah Hindia-Belanda pada masa kolonial, menjadi wilayah utama yang diincar oleh Jepang. Setelah Jepang berhasil merebut wilayah Batavia pada tanggal 5 Maret 1942 yang dilakukan mendadak membuat semua orang tidak berkutik, bahkan walikota Batavia saat itu masih menggunakan baju tidurnya diarak melalui jalan-jalan kota menuju penjara utama di Glodok karena tidak mau menandatangani pernyataan kesetiaan pada Jepang.
Pemerintah militer Jepang yang dalam beberapa hari segera menetapkan nama Jakarta menggantikan Batavia. Patung Jan Pieterszoon Coen segera dihancurkan, jalan-jalan dengan nama-nama eropa diubah menjadi nama Jepang, semua penanda dan iklan dalam bahasa Belanda harus diganti dengan nama Jepang atau Indonesia, bahasa yang diperbolehkan hanya bahasa Jepang dan Indonesia. Mereka orang-orang eropa yang tersisa di Batavia disekap dan dipenjarakan. Cara ini bukan tanpa maksud, itu merupakan bagian dari cara Jepang memperoleh simpati bangsa Indonesia tetapi juga merupakan kebijakan pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia untuk menggantikan semua yang berbau Eropa/Belanda.
Gambar 6.1 - Undang-Undang No. 30 Tahun 2602 Tentang Mengubah Nama Negeri dan Nama Daerah |
Gambar 6.2 - Maklumat Tentang Perubahan Nama Batavia Menjadi Djakarta |
Pemerintahan militer Jepang kemudian mengambil alih seluruh administrasi pemerintahan dan keamanan sampai ke tingkat kampung (DKI Jakarta, 1942). Wilayah bekas Hindia-Belanda selanjutnya dibagi atas tiga daerah pemerintahan milliter, yaitu:
1) Pemerintahan militer Angkatan darat (Tentara kedua puluh lima) memerintah di daerah Sumatera, berpusat di Bukit Barisan.
2) Pemerintahan militer Angkatan darat (Tentara keenambelas) memerintah di Jawa dan Madura, berpusat di Jakarta.
3) Pemerintahan militer Angkatan laut (Armada selatan kedua) untuk daerah-daerah yang meliputi Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Barat, berpusat di
Makassar.
Pada masa pendudukan Jepang di pulau Jawa dan Madura daerah yang disebut provinsi seperti provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dihapus (ditiadakan). Pada tanggal 8 Agustus 1942 di seluruh pulau Jawa dan Madura dibentuk 17 (tujuh belas) daerah pemerintahan Shu dan Syuu yang diperintah oleh Syuchokan atau Syuucokan. Kekuasaan Syuchokan atau Syuucokan sama dengan Gubernur akan tetapi luas wilayah kekuasaannya sama dengan keresidenan pada zaman penjajahan Belanda. Jakarta ditetapkan sebagai Tokubetsu Syi (Kotapradja Istimewa). Maksud perubahan struktur pemerintahan ialah: pertama, Jepang ingin membuat system pemerintahan yang lebih baik dari sebelumnya sesuai dengan adat istiadat asal. Kedua, untuk menyatukan susunan tata pemerintahan daerah, agar rancangan-rancanngan yang diadakan oleh pucuk pimpinan balatentara dapat dilaksanakan dengan baik di seluruh Jawa dan Madura.
Pada 22 Agustus 1945 Jepang mengumumkan mereka menyerah di depan umum di Jakarta. Jepang melucuti senjata mereka dan membubarkan PETA dan HEIHO. Banyak anggota kelompok ini yang belum mendengar tentang kemerdekaan. Sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun 1942, bahwa negara-negara sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya.
Penulis & Editor : Tim Publikasi Kearsipan
Sumber :
Sopandi, Andi. Triono. Hamluddin. (2019). Profil Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta dari Masa Ke Masa. Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi DKI Jakarta.
Wikipedia.com. 31 Oktober 2023. Pendudukan Jepang di Wilayah Hindia Belanda. Diakses pada 20 November 2023, dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pendudukan_Jepang_di_wilayah_Hindia_Belanda
Kumparan.com. 24 Februari 2017. Reorganisasi Batavia Awal Pendudukan Jepang. Diakses pada 20 November 2023, dari https://kumparan.com/potongan-nostalgia/reorganisasi-batavia-awal-pendudukan-jepang
DISPUSIP JAKARTA, INDONESIA - Setiap tahun, tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional, sebuah momen untuk menghargai dan merayakan kontribusi besar para guru dalam membentuk masa depan generasi. Pada hari yang spesial ini, mari kita refleksikan peran penting guru dalam merancang transformasi pendidikan.
Sebagai bagian dari penghormatan ini, mari kita fokus pada inovasi pendidikan di lingkungan Perpustakaan Jakarta yang menarik, tempat di mana pendidikan terjadi di luar batas kelas.
Perpustakaan bukan lagi hanya tempat untuk membaca buku, tetapi juga menjadi pusat kegiatan pendidikan yang beragam. Perpustakaan Jakarta menjadi contoh nyata bagaimana peran guru tidak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi juga meluas ke ruang pembelajaran alternatif.
Melalui adanya berbagai kegiatan seperti kelas bahasa isyarat, workshop menulis, workshop puisi, kelas dongeng anak, dan kelas-kelas lainnya, perpustakaan ini membuka pintu untuk pembelajaran yang lebih luas dan beragam.
Salah satu kegiatan menarik yang pernah diadakan di Perpustakaan Jakarta adalah kelas bahasa isyarat. Inisiatif ini membawa pemahaman tentang keanekaragaman komunikasi dan memberikan peluang kepada masyarakat untuk memahami pentingnya inklusi. Guru-guru yang mengelola kelas ini tidak hanya menjadi fasilitator, tetapi juga agen perubahan dalam memperluas pemahaman tentang komunikasi di antara generasi muda.
Melalui workshop menulis dan puisi, Perpustakaan Jakarta membuka peluang bagi siswa dan masyarakat umum untuk mengasah kreativitas dan ekspresi diri mereka. Guru-guru yang terlibat dalam kegiatan ini tidak hanya berbagi pengetahuan mereka tetapi juga menginspirasi para peserta untuk mengeksplorasi potensi kreatif mereka.
Dalam konteks ini, guru tidak hanya sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai pembimbing yang mendorong pengembangan bakat dan kecerdasan berbagai peserta.
Pentingnya literasi sejak dini tidak dapat diabaikan, dan kelas dongeng anak di Perpustakaan Jakarta Cikini merupakan langkah nyata untuk mencapai tujuan ini. Guru-guru yang terlibat dalam kegiatan ini tidak hanya membacakan cerita kepada anak-anak tetapi juga membangun dasar penting dalam perkembangan literasi mereka.
Melalui pengalaman yang menarik dan mendidik, guru-guru ini menjadi pionir dalam membentuk generasi yang mencintai membaca dan memiliki kemampuan bahasa yang kuat.
Perpustakaan Jakarta menjadi model inspiratif tentang bagaimana peran guru dapat melampaui dinding kelas. Guru-guru di sini tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga menjadi katalisator perubahan dalam pendidikan. Mereka membimbing, menginspirasi, dan menciptakan peluang untuk pembelajaran yang lebih luas dan beragam.
Penting untuk diingat bahwa guru bukan hanya sumber pengetahuan, tetapi juga pemandu dan teladan. Dengan melibatkan diri dalam kegiatan di luar kelas, guru dapat membantu membentuk karakter, membangun keterampilan kritis, dan mengembangkan potensi penuh setiap individu.
Hari Guru Nasional menjadi kesempatan bagi kita semua untuk merayakan peran guru dalam mewujudkan visi pendidikan yang lebih baik. Melalui inisiatif-inisiatif seperti yang terlihat di Perpustakaan Jakarta, kita dapat memastikan bahwa guru tidak hanya menjadi pelaku utama di dalam kelas tetapi juga agen perubahan dalam mengarahkan transformasi pendidikan.
Mari bersama-sama menghargai guru dan terlibat dalam membangun masa depan pendidikan yang lebih cemerlang.
Penulis: Afifa Marwah
Editor: Brilliant Dwi
DISPUSIP JAKARTA, INDONESIA - Setiap tahun, Indonesia merayakan Hari Pahlawan pada tanggal 10 November. Menjadi momentum penting yang mengingatkan kita akan perjuangan para tokoh pahlawan yang berjasa bagi bangsa. Dalam sorotan peringatan ini, mari kita kenali lebih dekat beberapa pahlawan perempuan yang dengan gigih memperjuangkan kemerdekaan dan hak-hak bangsa dan kaumnya. Mereka adalah sosok-sosok yang tak kenal lelah dan berjasa besar bagi Indonesia yang merdeka.
Pertama, kita mengenang Laksamana Malahayati, pejuang asal Kesultanan Aceh. Lahir di Aceh Besar pada tahun 1550, Malahayati memimpin pasukan Inong Balee yang terdiri dari janda-janda pahlawan yang telah syahid. Mereka melawan kapal dan benteng Belanda, bahkan berhasil membunuh Cornelis de Houtman pada peristiwa bersejarah pada 11 September 1599. Malahayati gugur pada tahun 1615 ketika melindungi Teluk Krueng Raya dari serangan Portugis.
Dari Aceh juga lahir seorang pejuang perempuan bernama Cut Nyak Meutia. Awalnya, ia bersama suaminya, Teuku Muhammad, melawan Belanda. Namun, setelah suaminya gugur pada tahun 1905, Cut Nyak Meutia kemudian melanjutkan perjuangan bersama Pang Nanggroe, yang kemudian gugur pada 26 September 1910. Cut Nyak Meutia terus berjuang, namun takdir berkata lain, dan gugur pada 24 Oktober 1910.
R.A Kartini, lahir di Jepara pada tahun 1879, dikenal sebagai perintis pendidikan untuk perempuan di Indonesia. Melalui surat-suratnya, beliau mengkritik budaya Jawa yang menghambat perkembangan perempuan. Hari kelahirannya, 21 April, kini dijadikan sebagai Hari Kartini untuk memperingati perjuangan Kartini dalam memajukan pendidikan perempuan di Indonesia.
Dewi Sartika, lahir di Jawa Barat, mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan kaum perempuan. Ia mendirikan Sekolah Istri di Pendopo pada 16 Januari 1904, yang kemudian berganti nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Istri dan kemudian Sekolah Raden Dewi. Atas dedikasinya, Dewi Sartika dianugerahi gelar Orde van Oranje-Nassau dan diakui sebagai Pahlawan Nasional pada 1 Desember 1966.
Dari Purwodadi, Jawa Tengah, lahir seorang pahlawan perempuan bernama Nyi Ageng Serang. Melibatkan diri dalam perlawanan melawan penjajah Belanda, Nyi Ageng Serang tetap memimpin pasukannya di usia 73 tahun, bahkan setelah kehilangan ayah, kakak, dan suami. Semangat juangnya membuatnya diakui oleh Pangeran Diponegoro sebagai salah satu penasihatnya.
Martha Christina Tiahahu lahir di Desa Abubu, Pulau Nusalaut, pada 4 Januari 1800. Sejak usia 17 tahun, ia telah menunjukkan keberaniannya dengan mengangkat senjata melawan penjajah Belanda. Tak hanya berjuang di medan pertempuran, Martha Christina Tiahahu juga menjadi sumber semangat bagi kaum perempuan, mengajak mereka untuk turut membantu para pejuang laki-laki di garis depan.
Mengenang jasa-jasa pahlawan perempuan merupakan bentuk penghargaan atas perjuangan mereka dalam membela tanah air. Kisah heroik mereka patut diabadikan sebagai inspirasi bagi generasi muda. Mari hargai peran besar para pahlawan perempuan Indonesia yang telah mengukir sejarah kemerdekaan.
Penulis: Afifa Marwah
Editor: Brilliant Dwi Izzulhaq
DISPUSIP JAKARTA, INDONESIA - Pada 6 Agustus 2009, Indonesia kehilangan seorang maestro sastra yang telah memberikan kontribusi besar bagi dunia seni dan budaya, W.S. Rendra, atau akrab disapa si "Burung Merak." Dalam peringatan Hari Lahirnya, mari kita mengenang perjalanan hidup dan karya-karyanya yang menginspirasi.
W.S. Rendra, yang nama aslinya Willibrordus Surendra Broto, lahir di Solo pada 7 November 1935 dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya, seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa di sekolah Katolik Solo, juga seorang dramawan tradisional, sementara ibunya adalah seorang penari serimpi di Keraton Surakarta. Masa kecil dan remaja Rendra dihabiskan di kota kelahirannya, mendalami kekayaan budaya Jawa.
Kiprahnya di dunia sastra dimulai pada tahun 1952, ketika beliau pertama kali mempublikasikan puisinya melalui majalah Siasat. Puisi-puisinya dengan cepat menarik perhatian dan menghiasi berbagai majalah pada masa itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Pada tahun 60-an dan 70-an, karya-karya Rendra terus dipublikasi di majalah.
Drama pertamanya, "Kaki Palsu," dipentaskan saat Rendra masih berada di SMP. Namun, kejayaan pertamanya datang melalui drama berjudul "Orang-Orang di Tikungan Jalan," yang meraih penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta, ketika Rendra masih duduk di SMA.
Penghargaan ini menjadi pemicu semangat Rendra untuk terus berkarya, mengekspresikan keprihatinan terhadap ketidakpedulian dan ketidakadilan melalui puisi-puisi penuh nilai dan moral.
Karya-karya Rendra tidak hanya meraih pengakuan di dalam negeri, tetapi juga menembus kancah internasional. Banyak puisinya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, dan India.
Keaktifannya dalam berbagai festival internasional, termasuk The Rotterdam International Poetry Festival, The Valmiki International Poetry Festival, dan Berliner Horizonte Festival, memberikan kontribusi signifikan terhadap promosi sastra Indonesia di tingkat global.
Penghargaan yang diterima Rendra sepanjang kariernya adalah bukti pengakuan atas kehebatan dan kontribusinya dalam dunia seni. Mulai dari Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta pada tahun 1954, Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956), hingga penghargaan bergengsi seperti Penghargaan Adam Malik (1989) dan The S.E.A. Write Award (1996), Rendra terus menunjukkan dedikasinya yang luar biasa.
Pakar sastra internasional, seperti Profesor Harry Aveling dari Australia dan Profesor Rainer Carle dari Jerman, telah memberikan perhatian dan penghargaan terhadap karya Rendra. Hal ini terbukti dengan terjemahan dan pembahasan karya-karyanya dalam tulisan-tulisan mereka, yang membantu mengangkat nama sastra Indonesia di mata dunia.
Prof. A. Teeuw berpendapat dalam bukunya "Sastra Indonesia Modern II" (1989) bahwa Rendra tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok atau angkatan tertentu dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern. Ia memiliki kepribadian dan kebebasan artistiknya sendiri, menjadikannya figur yang unik dan tak terikat pada kategori tertentu.
Keaktifan Rendra dalam festival-festival internasional, seperti The First New York Festival Of the Arts, Spoleto Festival, dan Tokyo Festival, bukan hanya sebagai kebanggaan bagi Indonesia, tetapi juga memberikan dampak positif dalam mendekatkan seni dan budaya Indonesia dengan dunia.
W.S. Rendra meninggalkan warisan seni dan sastra yang akan tetap hidup dan menjadi sumber inspirasi bagi generasi-generasi penerus. Peringatan atas Hari Lahirnya bukan hanya tentang mengenang seorang maestro, tetapi juga menegaskan bahwa karya-karyanya menjadi warisan abadi yang terus memberikan warna dan makna dalam perjalanan panjang sastra Indonesia.
Penulis: Afifa Marwah
Editor: Brilliant Dwi
DISPUSIP JAKARTA, INDONESIA - Pada masa kekuasaan Belanda dapat terbagi dalam 2 periode, yaitu (1) masa awal masuknya Belanda ke wilayah Indonesia, berdirinya Batavia (1619), hingga bubarnya VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie); (2) masa Hindia Belanda (Nederlands Indisch) sejak dibubarnya VOC sampai masuknya balatentara Jepang tahun 1942.
Beberapa pemimpin pada periode 1 dan 2 dapat dijabarkan pada tabel berikut:
Tabel 5.1 Daftar Pemimpin pada Masa Hindia Belanda |
Pada periode pertama bersifat kolonialis, sedangkan para periode kedua bersifat imperialis. Keduanya mempunyai perbedaan dalam mengelola tanah dan penduduk yang dijajahnya. Pada masa kolonial penekanan diberikan pada usaha perdagangan, sedangkan pada masa imperial lebih bersifat politis dengan membangun suatu birokrasi yang ketat tetapi juga fleksibel. Birokrasi inilah adanya pemerintahan yang disebut Hindia Belanda atau Nederlands Indisch.
Belanda melakukan ekspedisi pelayaran pertama ke Hindia Timur pada tahun 1595 untuk mendapatkan rempah-rempah secara langsung dari Asia. Ketika mereka menghasilkan keuntungan hingga 400%, ekspedisi Belanda lainnya segera menyusul. Menyadari hal tersebut, pemerintah Belanda menggabungkan para perusahaan pesaing ke perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC). VOC diberikan hak istimewa untuk berperang, membangun benteng, dan membuat perjanjian di seluruh Asia. Ibu kota didirikan di Batavia (sekarang Jakarta), yang menjadi pusat jaringan perdagangan VOC di Asia.
Masa kekuasaan VOC diawali dengan lengangnya kota Batavia yang baru dibangun saat itu. Penduduk Sunda Kalapa menyingkir jauh ke pedalaman saat VOC menyerang kota pelabuhan itu dan yang tersisa adalah sejumlah pegawai dan para serdadu termasuk serdadu pribumi yang di datangkan Coen dari Ambon dan dari pulau-pulau Indonesia timur lainnya.
Upaya pertama J. P. Coen dalam menghidupkan kota adalah mendatangkan pendudukan dari berbagai tempat. Salah satunya adalah membujuk dan mengajak komandan komunitas Cina yang ada di Banten untuk pindah ke Batavia. Coen membuka pintu lebar bagi para pendatang yang dapat menyumbangkan tenaga bagi pembangunan kota yang baru didirikannya itu. Maka, sejak 1620-an, sudah terjadi banyak migrasi ke Batavia dan wilayah Ommelanden.
Selain itu, Coen ingin menjadikan Batavia sebagai koloni yang didominasi orang-orang Eropa, tetapi ditolak oleh Heren XVII (Dewan 17 VOC) yang ada di Belanda, alasannya adalah ada kemungkinan migran Eropa yang merupakan Vrije Burger (orang Eropa bebas) dan dapat berdagang dengan leluasa akan menjadi pesaing serta menimulkan masalah bagi keberhasilan monopoli dagang VOC (Kanumoyoso, 2007).
Gambar 5.1 - Suasana Batavia pada Masa Hindia Belanda Tahun 1770 |
Ada dua area pemukiman setelah tembok kota dibuat, yaitu di dalam tembok kota (Intramuros) adalah tempat tinggal bagi orang Eropa dan beberapa orang Jepang dan Cina. Sedangkan penduduk pribumi harus tinggal di luar tembok kota (Ommelanden) di bawah pengawasan seorang komandan yang diberi pangkat militer, seperti mayor atau kapiten (Lohanda, 2004). Penduduk pribumi yang mempunyai komandannya berasal dari satu kampung tidak boleh pindah ke kampung lain, begitupun mengenai pakaian, pernikahan, dll. Namun, semua larangan banyak yang dilanggar oleh penduduk pribumi di luar tembok kota.
Pada bagian abad ke-17, kemanan Batavia dan Ommelanden mulai terjamin setelah VOC berhasil melakukan kontrak perjanjian dengan Mataram (1677), Cirebon (1681), dan Banten (1684) (Kanumoyoso, 2007). Sejak itu, Ommelanden yang merupakan pendukung bagi kota Batavia mulai berkembang pesat. Kegiatan pertanian, perkebunan, industri gula, pabrik arak, pembuatan batu bata dan genteng, dan berbagai kegiatan produksi lainnya tumbuh dengan cepat. Total penduduk Ommelanden menurut catatan 1691 adalah 47.729 orang, lalu pada 1731 bertambah menjadi 82.204 orang, dan pada 1781 menjadi 123.003 orang (Kanumoyoso, 2007).
Pada periode kedua, Tideman (1933), menyatakan bahwa wilayah Batavia, Meester-Cornelis, dan Buitenzorg didirikan pada tahun 1924-1925. Sejak berlakunya Staatsblad 1931 No. 425, wilayah Batavia dan Buitenzorg Kembali diatur bentuknya yang berbeda. Batavia disatukan dengan Karawang dan kabupaten Soekaboemi dan Tjiandjoer. Kabupaten Batavia dibagi menjadi 5 distrik dan 16 subdivisi; Meester-Cornelis dibagi menjadi 4 distrik dan 13 subdivisi; Buitenzorg dibagi menjadi 7 distrik dan 19 subdivisi. Wilayah Batavia, Meester-Cornelis, dan Buitenzorg dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 5.2 - Wilayah Batavia, Meester-Cornelis, dan Buitenzorg |
Daerah Batavia, Meester-Cornelis, dan Buitenzorg dapat dijabarkan pada tabel berikut:
Tabel 5.2 - Daftar Pembagian Daerah Batavia, Meester-Cornelis, dan Buitenzorg |
Pada awal abad ke-19, pemerintahan Hindia Belanda (Nederlands Indisch) yang menggantikan pemerintahan VOC, menerapkan program desentralisasi. Wilayah Batavia dan Ommelanden masuk dalam keresidenan Batavia yang dikepalai oleh seorang residen. Residen dibantu oleh seorang sekretaris keresidenan dan beberapa orang asisten residen, semua jabatan ini diduduki oleh orang Belanda. Namun, residen terakhir setelah proklamasi kemerdekaan dijabat oleh orang Indonesia dan setelah itu institusi keresidenan dihapus.
Keresidenan Batavia, yang berpusat di Purwakarta, meliputi tiga buah Kabupaten (Regentschap), yaitu kabupaten Batavia, kabupaten Meester-Cornelis, dan kabupaten Buitenzorg (Bogor). Namun, pada tahun 1925, kabupaten Buitenzorg menjadi keresidenan sendiri, yang meliputi kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi (Keputusan Gubernur Jenderal No. 386 387).
Berikut Bupati kabupaten Batavia secara berturut-turut:
Jika ditinjau dari nama-nama mereka, yang memiliki gelar Raden tentulah bukan orang Betawi karena orang Betawi tidak memakai gelar kebangsawanan, para Bupati dan Patih itu kebanyakan adalah para bangsawan Banten yang sejak sebelum zaman VOC sudah menetap di Jayakarta yang merupakan bagian dari Kerajaan Banten.
Di bawah regentschap (kabupaten), ada distrik (kewedanaan) yang dikepalai oleh seorang wedana. Wedana untuk distrik Batavia adalah Thamrin Mohammad Thabrie (biasa dipanggil Wedana Bibil) yang diangkat dan bertugas pada Mei 1908 sampai Februari 1911. Ia adalah orang Betawi sekaligus ayah dari Mohammad Husni Thamrin, tokoh pergerakan kaum Betawi yang menjadi pahlawan Nasional.
Berikut Wedana Batavia berturut-turut sampai masuknya bala tantara Jepang:
Berikut Voor de Politie atau urusan keamanan (Batavia dan Meester-Cornelis) berturut-turut:
Menurut Ruchiat pada 17 Agustus 1745, gelar-gelar diberikan oleh pemerintah Belanda, yaitu Gubernur van Imhoff, kepada para kepala daerah yang berjasa pada pemerintah Belanda sejak 2 Maret 1745. Gelar untuk kepala distrik adalah Rangga, Demang, dan Ngabehi. Gelar untuk Bupati adalah Toemenggung, Aria, Adipati. Gelar untuk keturunan bangsawan adalah Raden dan untuk keturunan raja adalah Raden Mas.
Kontrol Belanda atas kepulauan Indonesia tergolong lemah, meskipun Jawa didominasi oleh Belanda. Ada banyak perang dan gangguan di seluruh wilayah nusantara karena berbagai kelompok pribumi menolak upaya untuk membangun hegemoni Belanda. Meskipun pemberontakan di Indonesia pecah, kekuasaan pemerintah kolonial diperluas ke seluruh wilayah tersebut juga diambil dari para penguasa lokal yang tersisa.
Runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda terjadi saat Jepang menduduki wilayah teluk Banten di Jawa Barat dan Kragan di Jawa Tengah pada awal Maret 1942. Akhirnya Batavia (Jakarta) yang menjadi pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda direbut pada 5 Maret 1942 menyusul kemudian Bandung yang diambil-alih dua hari berselang.
Penulis & Editor : Tim Publikasi Kearsipan
Sumber :
Sopandi, Andi. Triono. Hamluddin. (2019). Profil Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta dari Masa Ke Masa. Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi DKI Jakarta.
Wikipedia.com. 16 November 2023. Hindia Belanda. Diakses pada 16 November 2023, dari https://id.wikipedia.org/wiki/Hindia_Belanda
DISPUSIP JAKARTA, INDONESIA - Situasi dan kondisi berubah saat Sunda Kalapa berhasil direbut oleh Fatahillah pada tahun 1527 dan masuknya agama Islam di pulau Jawa. Cirebon yang semula adalah pelabuhan kerajaan Sunda Pajajaran telah menjadi Islam, dan bergabung dengan kerajaan Islam Demak, begitu pula Banten di bawah Sultan Hasanuddin sudah menjadi kerajaan Islam.
Dibawah kepemimpinan Fatahillah (Falatehan atau Fadillah), serangan diluncurkan dari arah barat, dan berhasil mengenyahkan orang Portugis yang dipimpin oleh Francisco de Sa. Menurut Soekanto (Ruchiat, 2011), peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 22 Juni 1527. Akan tetapi ada pendapat lain dari Prof. Hoesein Djajadiningrat, peristiwa itu terjadi pada akhir bulan Desember tahun 1526. Adanya perbedaan pendapat dari para ahli, maka dalam hal ini DPRD DKI Jakarta menetapkan 22 Juni sebagai hari ulang tahun DKI Jakarta.
Setelah merebut Sunda Kalapa, Fatahillah mengganti nama menjadi Jayakarta yang berarti ‘kemenangan’ atau ‘kesejahteraan mutlak’, nama ini terinspirasi dari ayat pertama surah Al-Fath (48) yang berbunyi “Inna Fatahna Laka Fathan Mubinaa..” yang berarti “Sesungguhnya kemenangan ini adalah kemenangan yang sempurna”, dan Fatahillah menamai dirinya “Fathan” (karena salah tulis dan salah dengar, oleh orang Portugis menjadi “Falatehan”).
Gambar 4.1 – Pemimpin Kerajaan Jayakarta, Fatahillah |
kehidupan masyarakat mulai mengalami perubahan suasana keagamaan, yaitu dari agama Hindu ke agama Islam, yang merupakan satu perubahan besar dari agama Politeisme ke agama Monoteisme. Sejak merebut Pelabuhan Sunda Kalapa, pengaruh Islam semakin meluas di sekitar wilayah bekas kekuasaan Pajajaran. Fatahillah menguasai daerah Cisadane bagian barat, Citarum sebelah timur, dan beberapa pulau di sebelah utara dan sebelah selatan serta bagian-bagian wilayah kekuasaan Pajajaran.
Adanya pernikahan antara seorang putri Maulana Hasanuddin dengan Tubagus Angke dan antara putri Sultan Abulma’ali Ahmad dengan pangeran Wijayakrama (Bupati Jayakarta), membuat hubungan antara Jayakarta dengan Banten sangat baik dan dalam hal ini Jayakarta dianggap bagian dari Kesultanan Banten (Tjandrasasmita, 1967). Setelah Fatahillah meninggal, tampuk kepemimpinan diserahkan kepada Tubagus Angke dan terakhir kepada pangeran Jayakarta Wijayakrama (Djakarta Raja, 1958).
Gambar 4.2 – Makam Pangeran Jayakarta II, Tubagus Angke |
Pada masa pemerintahan Tubagus Angke, Jayakarta mulai didatangi orang Belanda, dengan rombongan pertama datang sekitar awal November 1596 dipimpin oleh Cornelis de Houtman (ijzerman, 1915) yang menyebut Jayakarta dengan sebutan Jaccatra dan penguasaannya disebut Konick van Jaccatra. Waktu itu hanya disebutkan bahwa Tubagus Angke sudah tua, kemudian digantikan oleh putranya yaitu pangeran Wijayakrama.
Jayakarta mulai menghadapi dan mengadakan perjanjian dengan VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) yang dipimpin Gubernur Jenderal Pieter Both pada 10-13 November 1610 (Tjandrasasmita, 1977). Empat tahun kemudian (1614), Gubernur Jenderal VOC saat itu, van Reijnst mendapatkan izin mendirikan benteng di sebelah utara keraton. Pada tahun 1618, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen memperluas dan membangun Kembali benteng sehingga menjadi bangunan yang kokoh, benteng tersebut berbentuk segi empat dan di setiap sudutnya ditempatkan Meriam yang menghadap ke keraton.