DISPUSIP JAKARTA, INDONESIA - Sebutan Pujangga Baru muncul seiring dengan kemunculan majalah sastra dan budaya "Poedjangga Baroe" pada tanggal 29 Juli 1933. Era Pujangga Baru ini menjadi tonggak penting dalam perkembangan kesusastraan Indonesia, di mana para sastrawan mencoba untuk berkarya tanpa campur tangan kolonial Belanda. Salah satu karya sastra paling fenomenal dari angkatan Pujangga Baru adalah "Layar Terkembang" karya Sutan Takdir Alisyahbana. Mari kita mengenal lebih dekat beberapa tokoh sastrawan yang mewarnai era Pujangga Baru ini.
Amir Hamzah, Tengku Amir Hamzah, lahir pada 28 Februari 1911 di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara. Ia tumbuh dalam lingkungan bangsawan Langkat yang taat pada agama Islam. Pada 29 Oktober 1945, Amir diangkat sebagai Wakil Pemerintah Republik Indonesia untuk Langkat, menjabat di Binjai sebagai Pangeran Langkat Hulu.
Namun, saat revolusi sosial merebak pada 3 Maret 1946, termasuk Amir Hamzah sebagai anggota bangsawan, mereka dihukum pancung pada 20 Maret 1946. Amir terbukti menjadi korban yang tidak bersalah dari revolusi sosial tersebut. Pada tahun 1975, Pemerintah RI mengakui jasanya dengan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional.
Amir Hamzah memiliki hubungan erat dengan sastra Melayu. Ia adalah seorang penyair yang berbakat, dengan kumpulan puisi seperti "Buah Rindu," yang menandai awal kariernya. Karya-karya puncaknya termasuk dalam kumpulan puisi "Nyanyi Sunyi" dan "Setanggi Timur." Selain sebagai penyair, Amir Hamzah juga mengenalkan karya-karya besar seperti terjemahan buku "Bagawat Gita." HB Jassin menyusun biografi Amir Hamzah sebagai bentuk apreasi beliau, buku biografi tersebut berjudul Amir Hamzah: Raja Penyair Pujangga Baru.
Jan Engelbert Tatengkeng, atau yang lebih dikenal sebagai J.E. Tatengkeng, adalah seorang penyair Pujangga Baru yang akrab disapa Oom Jan oleh teman-temannya. Oom Jan adalah sebuah panggilan yang umum di Sulawesi Utara, tempat ia lahir pada 19 Oktober 1907, di Kolongan, Sangihe. Tatengkeng adalah satu-satunya penyair Pujangga Baru yang memperkenalkan elemen kekristenan dalam karyanya, yang sesuai dengan latar belakangnya sebagai putra seorang guru Injil dan kepala sekolah zending.
Meskipun banyak dipengaruhi oleh kesusastraan Belanda dan gerakan Tachtigers, Tatengkeng memiliki pandangan berbeda dengan Jacques Perk. Baginya, seni bukanlah segalanya, tetapi sebuah gerakan sukma yang menghadirkan keindahan dalam kata-kata. Selain itu, Tatengkeng dikenal sebagai seorang penyair yang dekat dengan alam. Ia meninggal pada 6 Maret 1968 dan dikebumikan di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan.
Sutan Takdir Alisjahbana, seorang Sastrawan Indonesia yang berorientasi ke dunia Barat, gigih dalam pandangannya bahwa otak Indonesia perlu diasah agar setara dengan otak Barat. Lahir di Natal, Tapanuli, Sumatera Utara, pada 11 Februari 1908, dan meninggal pada 31 Juli 1993, ia juga dikenal sebagai pemikir kontroversial yang memainkan peran penting dalam perkembangan kesusastraan Indonesia.
Selain menulis karya sastra seperti "Tak Putus Dirundung Malang" dan "Layar Terkembang," ia juga berkontribusi dalam bidang bahasa, budaya, filsafat, pendidikan, dan sejarah melalui berbagai artikel dan esai. Kehidupan dan pemikirannya memberikan pengaruh signifikan pada perkembangan intelektual di Indonesia.
Sutan Takdir Alisjahbana menerima berbagai tanggapan terkait perannya dalam mengembangkan kesusastraan Indonesia. H.B. Jassin, dalam bukunya Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai I (1985), secara tidak langsung mengakui peran penting Sutan Takdir Alisjahbana sebagai pengarah perkembangan kesusastraan Indonesia.
Armijn Pane, yang juga dikenal dengan berbagai nama samaran seperti Ammak, Ananta, Anom Lenggana, Antar Iras, dan lainnya, adalah seorang tokoh penting dalam dunia kesusastraan Indonesia. Ia lahir pada 18 Agustus 1908 di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, dan memiliki warisan intelektual yang kuat dalam keluarganya.
Selain menjadi seorang sastrawan, ia juga aktif dalam dunia pendidikan dan organisasi kebudayaan. Kariernya di bidang penerbitan dimulai di Balai Pustaka, dan ia juga menjadi bagian dari berbagai organisasi kesusastraan dan kebudayaan.
Armijn Pane adalah salah satu pelopor majalah Pujangga Baru pada tahun 1933, di mana ia menjabat sebagai sekretaris redaksi hingga 1938. Novelnya, "Belenggu," awalnya diterbitkan dalam majalah Pujangga Baru sebelum menjadi buku. Pendapat tentang pengaruh Angkatan 45 di dalam karyanya memiliki perbedaan, Prof. Dr. Teeuw menganggapnya sebagai pelopor Angkatan 45, sementara Dr. H.B. Jassin lebih cenderung melihat gaya impresionistis dalam prosa dan puisinya.
Karya-karya Armijn Pane mencerminkan pengaruh dari berbagai tokoh seperti Noto Soeroto, Rabindranath Tagore, dan Krishnamurti, serta gerakan kesusastraan di Belanda setelah tahun 1880. Ia dikenal sebagai pengarang dengan keyakinan yang kokoh, seperti yang ia ungkapkan dalam novel "Belenggu." Karya ini dianggap sebagai salah satu karya sastra modern Indonesia yang pertama menggambarkan kehidupan kaum intelektual sebelum perang menurut Dr. H.B. Jassin.
Sanoesi Pane, sastrawan terkemuka dari Angkatan Pujangga Baru, lahir pada 14 November 1905 di Muara Sipongi, Sumatera Utara, dan meninggal di Jakarta pada 2 Januari 1968. Ia memiliki enam anak, termasuk Nina Pane, yang juga menjadi seorang novelis. Sanoesi Pane menempuh pendidikan dari HIS di Padang Sidempuan hingga ke Sekolah Hakim Tinggi di Jakarta, dan ia juga memperdalam pengetahuannya tentang kebudayaan Hindu di India.
Karya-karya Sanoesi Pane mencerminkan pengaruh ajaran theosofi dan filsafat Hindu, serta sering mengangkat tradisi lama ke dalam tulisannya. Meskipun ia berada pada perbatasan antara Angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru, karyanya menggabungkan model puisi awal yang terikat dalam bentuk soneta dengan idealisme Pujangga Baru.
Karya-karya terkenalnya termasuk "Pancaran Cinta," "Puspa Mega," "Airlangga," "Burung Garuda Terbang Sendiri," "Kertajaya," "Sandyakala ning Majapahit," dan "Manusia Baru." Sanoesi Pane diakui sebagai salah satu tokoh penting dalam kesusastraan Indonesia, mempertahankan otonomi seni dan seniman, serta menekankan bahwa bentuk bukanlah takluk pada jiwa, melainkan bentuk jiwa itu sendiri.
Era Pujangga Baru tidak hanya menciptakan karya-karya sastra yang menginspirasi, tetapi juga menggambarkan semangat kemerdekaan dan identitas nasionalisme. Para sastrawan ini menjadi pionir dalam upaya memahami dan mengekspresikan kekayaan budaya dan sastra Indonesia. Meskipun telah berlalu puluhan tahun, warisan sastra mereka masih terasa hingga hari ini, menginspirasi generasi-generasi sastrawan dan penikmat sastra di Indonesia.
Penulis: Afifa Marwah
Editor: Brilliant Dwi Izzulhaq