Mengungkap Jejak Sastrawan Indonesia Sebelum Kemerdekaan Hingga Kini
Thian Wisnu Isnanto Dilihat sebanyak 10x

Mengungkap Jejak Sastrawan Indonesia Sebelum Kemerdekaan Hingga Kini

DISPUSIP JAKARTA, INDONESIA - Indonesia memiliki harta karun berupa kekayaan sastra yang menghiasi perjalanan intelektual bangsa ini. Karya sastra, hingga saat ini, telah mencapai jutaan judul yang tersebar dalam rentang waktu yang berbeda-beda. Setiap fase perjalanan ini memberikan tempat bagi tokoh-tokoh luar biasa yang kehadiran mereka masih terasa berpengaruh hingga masa kini.

Meskipun belum ada kesepakatan definitif, para ahli telah mencoba menggolongkan periode sastra di Indonesia dimulai dari era Pujangga Lama. Periode ini mencakup karya-karya sastra yang lahir sebelum abad ke-20. Setelah Pujangga Lama, berbagai periode sastra baru muncul dengan para sastrawan dan karyanya yang masih hidup dalam ingatan hingga era modern.

Era Balai Pustaka

Usai masa Pujangga Lama, dunia sastra Indonesia memasuki babak era Balai Pustaka. Era ini menyaksikan munculnya banyak karya sastra dengan genre roman yang menghiasi periode 1920 hingga 1930.

Pada masa ini, Pemerintah Belanda menerapkan pembatasan terhadap karya sastra, yang menyebabkan sebagian besar sastrawan periode ini berasal dari Sumatera. Hal ini menyiratkan bahwa sastra Balai Pustaka kental dengan penggunaan bahasa Melayu Tinggi.

Armijn Pane, M. Kasim, Nur Sutan Iskandar, Marah Rusli, Asrul Sani, Hans Bague Jassin, dan Amir Hamzah adalah beberapa nama sastrawan terkenal pada masa ini. Salah satu pencapaian terbesar dari era Balai Pustaka adalah novel fenomenal "Sitti Nurbaya" karya Marah Rusli.

Era Pujangga Baru

Sebutan "Pujangga Baru" berasal dari majalah sastra dan budaya "Poedjangga Baroe" yang pertama kali diterbitkan pada 29 Juli 1933. Salah satu karya yang masih dikenang hingga kini dari angkatan Pujangga Baru adalah "Layar Terkembang" karya Sutan Takdir Alisyahbana.

Pujangga Baru umumnya mengeksplorasi karya mereka tanpa campur tangan kolonial Belanda. Beberapa tokoh besar era ini adalah Ali Hasymi, J.E Tatengkeng, Selasih, Mozasa, Sutan Takdir Alisyahbana, dan Sanusi Pane.

Generasi Angkatan 45

Periode ini ditandai oleh karya sastra realistis, di mana konteks tulisan menjadi lebih berfokus daripada kaidah bahasa. Masa ini melahirkan banyak nama besar sastrawan Indonesia yang terus terkenal hingga kini.

Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Usmar Ismail, Ida Nasution, Utuy Tatang Sontani, Balfas, J.E. Tatengkeng, dan Asrul Sani adalah tokoh yang mencorakkan Angkatan 45. Salah satu karya sastra monumental era ini adalah kumpulan puisi "Aku" karya Chairil Anwar.

Era Angkatan 50-an

Era ini menandai peralihan sastra dari masa perang menuju perdamaian. Sastrawan Angkatan 50 lebih banyak menghasilkan cerita pendek dan kumpulan puisi. Taufik Ismail, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, WS Rendra, NH Dini, Sapardi Djoko Damono, dan banyak lainnya adalah sastrawan Indonesia yang menunjukkan kecemerlangan karya mereka pada era 50-an.

Era Angkatan 70-an

Sastrawan pada periode ini lebih berani bereksperimen. Era Angkatan 70-an lahir sebagai respons terhadap tradisi. Pada masa ini, penerbitan mulai bangkit kembali dan banyak sastrawan terkenal. Sastrawan-sastrawan generasi 50-an, yang telah matang pada tahun 70-an, masih mendominasi periode ini. Contohnya Putu Wijaya, Arifin C. Noer, Sutardji Calzoum Bachri, Iwan Simatupang, Danarto, dan Rendra.

Era Reformasi

Kemunculan era reformasi memunculkan karya sastra berfokus pada isu-isu sosial dan politik. Sastrawan era Reformasi merefleksikan perubahan sosial dan politik di akhir tahun 1990-an. Nama-nama seperti Rendra, Taufik Ismail, Seno Gumira Ajidarma, Joko Pinurbo, Widji Thukul, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Acep Zamzam Noer menciptakan karya monumental di era ini.

Era Angkatan 2000

Masuk ke era 2000, sastrawan lebih mengandalkan literasi dan gaya cerita yang estetis. Banyak sastrawan Indonesia terkenal lahir dan berkembang pada era ini. Ayu Utami, Afrizal Malna, Andrea Hirata, Habiburrahman El Shirazy, adalah contoh tokoh terkemuka pada era ini.

Dari jejak perjalanan sastrawan Indonesia sebelum kemerdekaan hingga kini, tampak jelas bagaimana karya-karya sastra telah menjadi saksi bisu atas evolusi intelektual bangsa ini. Melalui jutaan judul yang tersebar dalam berbagai periode waktu, Indonesia memiliki harta karun berupa warisan sastra yang tak ternilai. 

Setiap fase perjalanan mengantarkan kita kepada tokoh-tokoh luar biasa yang memberikan sumbangsih berharga, mewarnai masa lalu, dan terus berdampak hingga masa kini. Dari Pujangga Lama hingga era kemerdekaan, dan dari Balai Pustaka hingga ke zaman digital, jejak para sastrawan terus mengilhami, mengajarkan, dan membuka jendela wawasan.

Penulis: Afifa Marwah
Editor: Brilliant Dwi Izzulhaq


sastra