DISPUSIP JAKARTA, INDONESIA - Indonesia memiliki kekayaan sastra yang sangat beragam, terdiri dari berbagai jenis karya mulai dari esai hingga puisi. Salah satu dari para sastrawan Indonesia yang telah memberikan kontribusi berharga dalam dunia sastra adalah seorang tokoh yang sering dianggap sebagai ikon sastra dari Tanah Sulawesi, yakni J.E. Tatengkeng.
Jan Engelbert Tatengkeng, atau lebih dikenal dengan J.E. Tatengkeng, adalah seorang penyair Pujangga Baru yang memiliki karakteristik unik dalam karya-karyanya. Ia lahir pada 19 Oktober 1907 di Kolongan, Sangihe, Sulawesi Utara, dan merupakan satu-satunya penyair dari era Pujangga Baru yang membawa unsur kekristenan ke dalam karya-karyanya.
Karakteristik karya beliau ini dapat dipahami dari latar belakangnya, di mana ayahnya adalah seorang guru Injil dan kepala sekolah zending. Selain itu, tempat kelahirannya, sebuah pulau kecil di timur laut Sulawesi, dikenal karena mayoritas penduduknya beragama Kristen.
Tatengkeng dikenal dengan panggilan Oom Jan oleh orang-orang terdekatnya, yang merupakan panggilan yang umum digunakan di kalangan masyarakat Sulawesi Utara. Karyanya mencerminkan pengaruh latar belakang keagamaan dan kekristenan yang kuat dalam kehidupannya. Ia menciptakan puisi yang memadukan elemen-elemen keagamaan dengan sastra, menciptakan karya-karya yang khas.
Tatengkeng meninggal pada 6 Maret 1968 dan dikebumikan di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Warisan karyanya sebagai penyair Pujangga Baru dengan unsur kekristenan yang khas tetap relevan dan menarik perhatian para pembaca dan peneliti sastra hingga saat ini.
J.E. Tatengkeng mulai aktif menulis ketika ia berada di Solo pada tahun 1930-an. Karyanya sering dipublikasikan melalui surat kabar Rindoe Dendam, yang juga menjadi tempatnya berkenalan dengan Tengku Amir Hamzah dan kesusastraan Belanda, terutama gerakan Tachtigers.
Setelah kembali ke tanah kelahirannya, Sangihe Talaud pada tahun 1932, Tatengkeng terus menulis puisi, esai, dan artikel seni sastra untuk berbagai surat kabar dan majalah, termasuk Tuwa Kona, Soeara Oemoem, Soeloeh Kaoem Moeda, Pemimpin Zaman, dan Poedjangga Baroe.
Beliau sempat pindah dan mengajar di Sumbawa. Meski begitu, Tatengkeng tetap produktif dalam menulis dan mengirimkan karyanya ke majalah-majalah sastra melalui pos. Selama periode perang kemerdekaan (1945-1949), ia berkontribusi di majalah Boedaja dan Pembangoenan.
Setelah menetap di Makassar pada tahun 1950, ia melanjutkan menulis di majalah Zenith, Siasat, Indonesia, Konfrontasi, dan Sulawesi.
Karya-karya Tatengkeng tidak hanya terbatas pada puisi, tetapi juga mencakup prosa dan drama. Karyanya telah memengaruhi dan diakui oleh berbagai kritikus sastra Indonesia terkemuka, seperti H.B. Jassin, Ajip Rosidi, dan A. Teeuw. Mereka menganggap Tatengkeng sebagai salah satu tokoh penting dalam Angkatan Pujangga Baru, yang sejajar dengan Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Asmara Hadi.
Puisi-puisi Tatengkeng mencakup beragam bentuk puisi baru, termasuk soneta, distikon, tersina, kuartren, kuin, sektet, septima, dan oktaf. Dia juga dikenal karena menciptakan tata wajah puisi yang tidak lazim pada zamannya, seperti dalam puisi "Lukisan" yang menyerupai segi tiga atau pohon cemara, serta puisi "Kuncup" dengan baris-baris pendek. Ini merupakan inovasi tipografi yang belum pernah ada sebelum Angkatan Pujangga Baru.
Kumpulan puisi karya Tatengkeng yang terkenal adalah "Rindu Dendam," yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1934 dan dicetak ulang pada tahun 1974, berisi 32 puisi. Selain itu, banyak puisi Tatengkeng juga diterbitkan dalam berbagai majalah antara tahun 1934 hingga 1959. Dalam total, Tatengkeng telah menghasilkan 59 puisi selama karir sastranya, dengan 32 puisi terdapat dalam buku "Rindu Dendam" dan 27 puisi lainnya tersebar di berbagai majalah selama 25 tahun.
Karya dan sumbangan J.E. Tatengkeng dalam dunia sastra Indonesia tetap relevan hingga saat ini, dan sejumlah peneliti dan kritikus sastra terkemuka telah meneliti karyanya secara mendalam.
J.E. Tatengkeng adalah sosok yang patut dihormati dalam dunia sastra Indonesia. Karyanya yang menggabungkan budaya Sulawesi dengan pengaruh sastra Barat memberikan warna yang unik dan berharga dalam kancah sastra Indonesia. Melalui karyanya, ia telah membuka mata pembaca terhadap kekayaan budaya dan bahasa Sulawesi, serta menyajikannya dalam bentuk yang menarik dan mendalam.
Penulis: Afifa Marwah
Editor: Brilliant Dwi Izzulhaq