Sejak akhir tahun
2019, warga dunia dihebohkan oleh virus Corona jenis baru yang dinamakan Corona Virus Disease (Covid-19). Virus ini
sebelumnya disebut Novel Coronavirus atau nCoV
dan oleh Komisi Kesehatan Nasional Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sempat menyebutnya ‘novel coronavirus pneumonia‘ atau NCP. Virus
yang bermula tersebar di Kota Wuhan, RRT ini terus menyebar hingga
akhirnya dikonfirmasi secara resmi telah ada di Indonesia pada 2 Maret 2020
yang langsung diumumkan oleh Bapak Presiden Joko Widodo.
Sejak saat itu, Covid-19
menjadi isu utama baik di media mainstream
seperti pemberitaan radio dan televisi maupun media sosial. Ledakan informasi
mengenai Covid-19 tak terelakkan.
Semua orang berlomba-lomba ambil bagian dalam penyebaran informasi mengenai Covid-19. Pada tulisan ini yang menjadi
pembahasan bukan mengenai Covid-19 dari perspektif virus melainkan mengamati
dari sisi informasi dan perilaku berliterasi
masyarakat.
Isu Covid-19 memenuhi syarat nilai berita. Berdasarkan tulisan pada
publikasi Perpustakaan Universitas Bina Nusantara (https://library.binus.ac.id/) Mencher (1997) menyebutkan ada tujuh nilai
berita, di antaranya:
Timeless (kesegaran waktu), dalam konteks Covid-19 merupakan kejadian
yang masih berlangsung. Artinya isu ini sangat kekinian dan memenuhi unsur
pertama dari sebuah berita.
Impact (dampak), dalam konteks Covid-19 unsur ini sangat terpenuhi
dimana Covid-19 berdampak global. Bahkan isu ini menjadi “komoditas” utama di
media sosial maupun di media mainstream terlebih
dampaknya sedang dirasakan langsung secara nasional di Indonesia.
Prominance (terkemuka), dalam istilah yang lebih sederhana dapat
dipadankan dengan istilah “populer”. Covid-19
menjadi sebuah bahasan populer di masyarakat. Mengemuka menjadi isu besar yang
dominan dan menonjol di masyarakat. Nilai berita ini terpenuhi oleh isu tentang
Covid-19.
Proximity (kedekatan), bahasan mengenai Covid-19 sangat dekat dengan
masyarakat. Tidak terlihat namun epidemi Covid-19 menjadi keprihatinan banyak
orang. Nilai berita ini yang menjadikan Covid-19 bertahan lama menjadi
“komoditas” di media sosial dan media mainstream.
Hal ini dikarenakan individu yang memiliki rasa “dekat” karena terasa
langsung oleh tiap individu dalam kehidupan sehari-hari.
Conflict (konflik), konflik pada isu Covid-19 menjadi multidimensi.
Hal ini dikarenakan konflik yang ada bukan hanya mempertentangkan antara satu
individu dengan individu lain yang berseberangan tetapi juga membawa multikonflik
lainnya. Semisal Covid-19 membentuk kubu masyarakat yang pro terhadap kebijakan
aturan kerja dari rumah (work from
home) dan kubu lain yang kesulitan
menerapkan kebijakan aturan kerja dari rumah (work from home) dikarenakan tempatnya bekerja bergerak pada bidang food & beverage atau pekerja yang
pendapatannya berskala harian.
The unusual (kejadian tidak biasa), dalam konteks Covid-19 sebenarnya
bukan masuk kategori kejadian yang tidak biasa karena epidemi pernah terjadi di
waktu silam. Namun dikarenakan rentang waktu yang cukup panjang antara epidemi
Covid-19 dengan epidemi sebelumnya menjadikan isu Covid-19 menjadi sesuatu yang
tidak biasa, sebut saja epidemi yang skala korbannya cukup besar yakni Flu
Spanyol yang terjadi pada tahun 1920 silam.
The currency (hal yang sedang diperbincangkan banyak orang), Covid-19
merupakan isu bahasan semua orang di semua lapisan masyarakat. Dampak Covid-19
hampir menyeluruh ke segala elemen kehidupan. Covid-19 terkolerasi dengan
politik, olahraga, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Hampir semua elemen
kehidupan memadupadankan informasi Covid-19 dalam isu pembahasannya.
Dilihat dari perspektif
informasi, Covid-19 memenuhi unsur sebagai “komoditas” yang baik sebuah berita.
Hampir semua unsur berita terpenuhi secara sempurna. Namun hal yang menarik
adalah bagaimana kepekaan berliterasi masyarakat dalam menanggapi ledakan
informasi mengenai Covid-19. Mengutip
dari hasil survei Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi DKI Jakarta, benar
adanya bahwa kini perilaku pemenuhan informasi masyarakat berubah. “…responden memilih format bacaan elektronik
dan menjadikan artikel dalam sosial media sebagai informasi utama…” (Dispusip,
2019).
Namun, perlu kiranya kita
tetap memiliki pegangan atas perilaku konsumsi informasi yang baik dan benar.
Hal ini untuk mengurangi risiko ketidakpastian, kepanikan, bahkan menyampaikan
informasi yang tidak benar kepada orang lain. Meskipun kita bukan sebagai creator informasi tersebut tetapi salah
juga jika peran kita sebagai mediator yang mempararelkan informasi salah ke
pihak lain.
Ada beberapa kiat yang
kiranya dapat dilakukan oleh kita untuk mencegah penyebaran dan perilaku
informasi yang salah. Diantaranya:
Tidak
meneruskan informasi elektronik ke orang lain jika dirasakan informasi tersebut
belum terkonfirmasi dengan jelas. Dengan melihat karakter informasi elektronik dengan
mempertanyakan: siapa pengirim pesan, siapa pembuat pesan, siapa yang sebenarnya
memiliki kewenangan/otoritas, dan siapa yang berhak untuk mengeluarkan
informasi tersebut. Langkah pertama ini adalah untuk menghindari peran kita
sebagai mediator dari informasi yang belum tentu kebenarannya.
Konsumsi
informasi dari sumber media elektronik yang kredibel. Hal ini bisa dilihat dari
kepemilikan otoritas. Konsumsi informasi dari website resmi institusi yang
memiliki otoritas atas pesan elektronik yang tersebar. Konsumsi informasi dari
sumber rujukan yang terdapat profesional di dalamnya. Misalnya situs berita
online nasional yang secara kredibel menghasilkan output berita dari profesional
wartawan.
Lakukan
cek ulang atau tinjau ulang informasi. Hal ini dengan melalukan telusur
kandungan informasi dengan memadupadankan isu berita dengan otoritas institusi.
Contoh : isu kesehatan dengan otoritas Kementrian Kesehatan, isu iklim dan
cuaca dengan otoritas BMKG, dan lain sebagainya.
Ketiga langkah ini
merupakan langkah sederhana untuk menghindarkan kita terjebak dalam kaget informasi mengenai isu Covid-19
yang bisa saja menimbulkan keresahan dan merugikan pihak lain. Prinsip dasar
dari kepekaan berliterasi adalah kehati-hatian. Kehati-hatian agar terhindar
sebagai penyebar informasi yang belum tentu kebenarannya dan kehati-hatian sebagai
mediator bagi informasi yang dapat saja merugikan pihak lain. Perilaku
berliterasi dengan kondisi saat ini sekiranya menjadi pedoman banyak pihak agar
konsumsi informasi yang diperoleh juga dapat membawa dampak baik dan membangun
pola berpikir positif. Saat informasi Covid-19 terus masuk melalui gengaman
ponsel pintar, kepekaan berliterasi membantu kita tetap bisa bertindak tepat,
tenang, dan proporsional hingga berhasil melewati masa epidemi Covid-19 dengan
baik.
Ditulis oleh : Ari Imansyah *) Konten/substansi naskah menjadi
tanggung jawab sepenuhnya dari penulis