Tulisan ini dikutip dari tulisan Prof. Rhenald Kasali pada Harian Kompas, 9 September 2014 (Disruption, 2017). Menariknya membaca secara seksama tulisan ini banyak hal yang dapat dijadikan referensi bagi pengelolaan organisasi diantaranya perpustakaan. Berikut tulisan Beliau:
Siapa yang tak kenal Nokia? Setelah menjadi sehabat banyak orang di sini, Nokia adalah business case study Harvard yang sangat menarik, Ia beralih dari merek sepatu menjadi ponsel dengan pendekatan “human touch” dan “connecting people”. Bentuknya jauh lebih fashionable dari pada pesaing-pesaingnya: Motorola atau Ericsson. Handset buatan Motorola dan Ericson sudah lebih dulu tak terlihaat lagi.
Dari Nokia-lah, di Harvard, para eksekutif belajar cara membangun keunggulan daya saing. Mulai dari daya saing perusahaan, daya saing Negara (Finlandia), hingga bagaimana policy makers menbangun kluster, industri-industri pelengkap, dan kebijakan yang pro-business sehingga menciptakan lapangan kerja yang produktif dan kreatif. Kita berfikir, begitu daya saing didapat, dengan prinsip itu akan didapat sustainability. Dan itu artinya kesejahteraan.
Namun minggu ini. Microsoft mengakuisisi divisi handset Nokia dengan nilai 7,2 miliar dolar AS. Para investor bereaksi negatif, karena keduanya, baik Microsoft maupun Nokia, Sama-sama sedang berada dalam kubangan kesakitan. Semua orang tahu, penjualan PC dunia sedang drop, sehingga Microsoft perlu beralih ke bisnis mobile devices. Artinya industrinya sendiri tengah berubah.
Sumber : https://www.nokia.com/phones/en_us
Namum, Nokia sendiri seperti juga tengah berada dalam kubangan kesulitan yang sama. Global market share-nya mengrucut, tinggal 15%. Ketika kesulitan terjadi, eksekutif Nokia melakukan hal serupa seperti perusahaan-perusahaan lainnya: Mengotak-atik keunggulan brand-nya. Mereka lalu menjalin hubungan dengan Microsoft, yang tertarik menggunakan software windows phone. Namun solusi ini keliru. Brand Microsoft tak mampu menjadikan Nokia lebih baik. Pasar telah beralih ke Android dan Nokia selalu terlambat menanggapinya. Bagi sebagian besar analis, akuisisi ini juga tak mampu menjadikan Microsoft seperti Apple yang telah telanjur memiliki loyalis dalam kategori mobile devices.
Kekacauan seperti di Nokia juga pernah terjadi di Kodak beberapa tahun lalu, tak lama setelah masa-masa sulit industri rol film pada 1970 sampai 1980-an yang terjadi akibat kenaikan harga perak (bahan baku processing lab photography yang penting). Kendati pada 1980-an harga perak telah kembali stabil, eksekutif Kodak memilih duduk manis. Padahal, pada 1980-an Sony mulai menjelajahi kamera digital, dan Fuji segera menangkap peluang itu.
Namun ini tidak 100% benar. Sebab jauh sebelum Sony, Kodak sudah lebih dulu membuatnya (1975). Hanya saja, internal battle-nya berat. Eksekutif Kodak tidak kompak. Lagi pula beratnya masih 3,6 kilogram sehingga belum cukup menarik bagi pasar.
Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/Instamatic#/media/File:Kodak_Instamatic_100.jpg
Sebaliknya, di bawah Minoru Onishi, Fuji justru menambah dana riset untuk teknologi digital. Pada 1999, total investasi risetnya di area ini mencapai 2 miliar dolar AS. Dengan demikian, pada 2003, mereka telah memiliki lebih dari 5.000 digital processing lab. Mereka juga menjelajahi dunai kesehatan (rongtgen), office automation, dan manufactur untuk floppy disk. Semua ini dilakukan tanpa pengolahan internal sama sekali.
Bagaimana reaksi Kodak? Kodak akhirnya hanya berkutat diseputar marketing: branding, location, pricing, packaging, advertising, dan seterusnya. Cuma itu yang bisa mereka lakukan karena hambatan secara internal cukup besar. Ketika Fuji telah menguasai digital processing lab. Kodak baru memiliki beberapa puluh unit saja. Inilah awal kemunduran Kodak, dengan risiko brand yang kuat pun bisa mati kalau hanya menjalankan marketing strategy. Sales drop bukanlah melulu akibat marketing salah, melainkan sesuatu telah berubah.
Reaksi serupa juga terjadi di Modern Group, distributor tungal rol film Fuji di sini, Modern Group mengalami kesulitan ketika bisnis rol film tak lagi digemari pasar. Sales revenue-nya dalam bisnis ini drop, dari 2 triliun rupiah (2002) tinggal menjadi 212 miliar rupiah (2010) dan terus morosot. Beruntung mereka segera berubah. Di bawah Henry Honoris, Modern Grup menjelajahi dunia dengan bussines model 7- Eleven yang sama sekali baru, yang dilengkapi dengan fasilitas nongkrong anak muda. Bisnis inilah yang kini menyelamatkan Modern Grup.
Analisis Industri.
Kebanyakan kita umumnya belajar marketing dari tokoh-tokoh lama yang mengedepaankan pentingnya mengeksploitasi keunggulan-keunggulan dan keunikan-keunikan diri. Dengan analisis industri model Five Forces. Kita menjadi yakin bahwa competitive advantage perlu terus diperkuat dengan hal-hal strategis di dalam brand itu.
Namun, pada awal abad ke-21, business landscape telah berubah total. Analisis industri yang dulu kita lakukan terhadap masing-masing industri telah berubah. Para pelaku perubahan tak lagi bermain di area yang sama, sehingga persaingan sudah berubah menjadi antar industri, bahkan antar-business model. Dalam buku Cracking Zone, saya memperkenalkan katagori baru dalam industry yang saya sebut cracker, yang artinya melebar ke mana-mana, competitive advantages jelas menjadi persoalan baru dan marketing tidak bisa lagi berjalan sendiri. Bahkan, strong brand bisa saja tiba-tiba beralih menjadi problematic brand. apalagi bila eksekutif puncaknya sudah terlalu dimanjakan oleh berbagai fasilitas yang membuat mereka nyaman. Mereka akan sangat mudah digoyang para business modelist baru yang tiba-tiba merampok keunggulan mereka. Itulah yang tengah terjadi dihampir semua industri dan melahirkan teori transient dalam analisis industri baru.
Pada tulisan tersebut terdapat beberapa poin yang sekiranya menjadi catatan penting. Pola konsumsi pasar berubah, business landscape berubah, keungulan dan keunikan produk bukan lagi sesuatu yang spesial dan selalu akan ada muncul dengan cepat model bisnis baru seperti halnya Gojek, Dana, Treveloka, dll. Namun hal yang paling penting menjadi cacatan adalah hambatan jika internal battle-nya berat. Ini menjadi suatu hal yang fatal jika organisasi modern yang ada masih mengidap permasalahan ini. Fatal jika manajerial masih berkutik dan hanya fokus dengan strategi marketing. Semisal pemikiran seberapa banyak web site dilihat masyarakat, seberapa banyak media yang meliput dan memuat di laman surat kabar mereka, seberapa puas pimpinan pucuk tertinggi mengutip kinerja suatu bagian . Hal tersebut adalah pemikiran yang seharusnya sudah kategori obsolescence (baca: ketingalan jaman) pada pengelolaan organisasi modern saat ini. Seharusnya pemikiran para manajerial sudah pada analisa perubahan landscape pasar. Dimana analisa ini nantinya akan menciptakan suatu bisnis model baru yang benar-benar berbeda. Pertanyaanya apakah Perpustakaan perlu suatu bisnis model yang benar-benar baru? Mari berdiksusi!
Ditulis ulang oleh : Ari Imansyah *) Konten/substansi naskah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari penulis