Disruption: Perpustakaan Masa kini
Oleh : Ari Imansyah
Istilah masa kini lekat dengan kekinian, keterbaharuan, dan sesuatu yang trend. Dihasilkan dengan daya yang sedikit namun meghasilkan dampak yang masif. Kondisi saat ini yang sama-sama kita rasakan bernama : Disruption.
Dalam bukunya Disruption (2017), Prof. Rhenald Kasali mendefinisikan Disruption sebagai “perubahan cepat”. Secara intrinsik perubahan cepat ini membuat orang terkaget-kaget, tidak siap, bahkan menanggap ini sebagai bentuk ketidakadilan.
Kenyataannya Disruption terjadi dimana-mana dan menjadi suatu hal yang tak terelakan. Prof. Rhenald Kasali menyebutkan di bidang perpustakaan, profesi pustakawan akan menjadi salah satu profesi yang terancam hilang. Hilang karena kemampuan profesi ini tergantikan oleh mesin atau kecerdasan pustakawan tergantikan oleh kecerdasan buatan “artificial intellengence” mesin-mesin yang hasilnya lebih presisi.
Perpustakaan menjadi institusi yang terancam tidak lagi relevan dengan kebutuhan masyarakat. Anggapan kaum millennial yang kini sudah berjumlah 40% dari populasi tidak mengangap perpustakaan menjadi tempat yang lagi ideal untuk memenuhi kebutuhan informasi. Mereka lebih senang berselancar di internet dan langsung menuliskan pemikiran mereka di komputer dan mengirimkan kembali apa yang mereka telah kerjakan melalui email. Disana tidak ada sama sekali kehadiran buku dalam proses pemecahan masalah saat ini. Padahal buku sampai saat ini masih menjadi bahan baku utama institusi perpustakaan. Habit atau kebiasaan orang masa kini berubah dan millennial merupakan pangsa pasar mayoritas saat ini.
Secara perlahan institusi perpustakaan akan hilang jika tidak melakukan adaptasi atas apa yang namanya Disruption. Kunci utama dalam menghadapi Disruption bagi bidang perpustakaan adalah dengan memperbaiki 4 (empat) hal yakni memperbaiki bussines model (cara berbisnis), memperbaiki bussines procces (proses berbisnis), memperbaiki product offering (cara penawaran jasa/servis) dan memperbaiki Delivery (cara menyampaikan produk).
Bussiness model
Saat ini perpustakaan masih menjadikan buku tercetak sebagai komoditas utama bisnis modelnya. Ada ruangan atau gedung, disiapkan jajaran rak dan fasilitas pendukung lainnya, lalu diisi oleh buku-buku dengan subjek tertentu. Selanjutnya, bisnis model sebagai sayap ekspansi dari layanan utama adalah melakukan kegiatan-kegiatan, promosi dan publikasi dan serangkaian kerjasama dengan institusi atau kelompok tertentu. Setelah semua itu dilakukan berharap akan ada dampak balik (feedback) atas apa yang dianggap sebagai aksi untuk mendapatkan reaksi dalam bentuk kunjungan ke perpustakaan, peningkatan keanggotaan perpustakaan, dan yang lebih besar lagi kebiasaan budaya baca meningkat.
Proses bisnis ini yang sekiranya perlu dipikirkan kembali oleh para pelaku di bidang perpustakaan. Pertanyaan dimana Disruption diantisipasi oleh perpustakaan? Perlukah perubahan atas bisnis model yang telah dilakukan? Perlukan perubahan atas apa yang telah dilakukan dalam bisnis model yang hingga saat ini terus dilakukan?
Jawabanya adalah digital. Digital menjadi opsi mutlak atas bisnis model perpustakaan yang ada. Digital harus di serap dengan tepat oleh perpustakaan agar tidak tergerus dengan bisnis model internet. Perpustakaan harus menyerap digital dalam bisnis modelnya dengan tepat dan presisi sesuai kebutuhan dan kecenderungan (need&trend) millennial saat ini. Digital menjadi bisnis model utama dan kegiatan yang menjadi sayap kegiatan perpustakan saat ini berganti posisi menjadi pelengkap. Digital menjadi mutlak bagi perpustakaan.
Bussines Procces
Proses berbisnis perpustakaan saat ini masih bertumpu pada layanan. Peminjaman buku, keanggotaan, layanan baca di tempat, dan layanan internet di gedung perpustakaan menjadi bisnis proses yang hingga saat ini menjadi bisnis proses utama. Padahal kebutuhan dan kecenderungan (need&trend) kaummillennial berubah, habbit atau kebiasaan para millennial telah berganti, dan paradigma yang dulu ada telah banyak berubah. Seperti contoh di Jakarta dahulu kawasan Sudirman, kawasan Mega Kuningan, Kawasan Monas bisa dikatakan sebagai lokasi strategis. Namun, dalam kontek pemenuhan kebutuhan informasi kata “strategis” mengalami perubahan arti. Strategis dapat diartikan dekat dengan tempat tinggal maka berjamurnya toko serba ada di kawasan pemukiman mengakibatkan banyak seller besar yang ada di mall tutup secara sendirinya. Kini strategis bagi banyak orang adalah dekat dengan rumah atau tempat tinggal.
Perpustakaan harus memperbaiki bisnis prosesnya dalam melayani penggunaannya. Buat special previllage bagi anggotanya, buat kemewahan akses, perbedaan kualitas layanan antara anggota perpustakaan dengan bukan anggota perpustakaan, berikan tawaran-tawaran menarik melalui pesan singkat (SMS), email, atau media sosial pengguna untuk di undang secara kehusus ke perpustakaan, berikan jaringan akses tanpa batas ke berbagai media online berbayar yang diperoleh ketika orang berselancar di perpustakaan, cukupkan layanan baca yang di dukung oleh kebebasan untuk makan, minum, berdiskusi atau bahkan tidur di perpustakaan sehingga pengunjung perpustakaan berlama-lama di perpustakaan. Jadikan perpustakaan sebagai institusi ter”keren” dan menjadi rujukan utama kebebasan bagi pemenuhan hak asupan intelektual. Secara alami jika hal ini dilakukan perpustakaan akan menjadi institusi yang percaya diri untuk mengatakan Disruption is here “disiinilah tempat perubahan”.
Product Offering
Perpustakaan merupakan institusi yang secara tradisonal masih mempertahankan bentuk penawaran atas jasanya. Gedung menjadi epicentrum utama perpustakaan dalam menawarkan layanan dan jasa. Sedikit perpustakaan yang berani menawarkan produk dan jasa diluar kebiasaan. Mobil keliling dan motor keliling menjadi cara perpanjangan tangan menawakan produk layanan. Layanan keliling akan masuk ke gang-gang sempit, ke jalan-jalan yang berjauhan dengan layanan perpustakaan. Tapi pertanyaannya apakah layanan keliling ini cukup “keren” untuk pengguna perpustakaan saat ini. Jika dibandingakan jumlah pengguna layanan keliling dengan game center atau cafe yang menawarkan akses free internet sepertinya penggunaan layanan keliling masih kalah ramai. Padahal di game center atau cafe pengguna diwajibkan untuk berbayar minimal membayar atas jasa internet aray harus memesan makanan atau minuman untuk memperoleh akses layanan cafe. Kini “keren” dan “tidak Keren” menjadi faktor utama dalam mementukan produk mana yang memberikan penawaran terbaik dan dipilih oleh masyarakat.
Delivery
Disruption terlihat nyata dalam cara menyampaikan produk jasa/barang. Kini suatu keanehan jika kita harus ke suatu gerai/ toko untuk memperoleh suatu barang. Kini, melalui smart phone, buka aplikasi, lalu klik dan jasa/barang yang dikehendaki akan dikirimkan segera oleh penyedia. Kemudahaan ini menjadi suatu keniscayaan termasuk penyampaian produk perpustakaan.
Perpustrakaan harus mendiversifikasi buku-buku dan rak yang berjajar di gedung perpustakaan ke banyak tempat. Dekatkan akses atas buku dengan design rak yang menarik di lokasi-lokasi strategis. Bangun perpustakaan mini di berbagai tempat, di stasiun sehingga orang sambil menunggu menghabiskan atau membuka-buku buku perpustakaan, di stasiun jarak jauh, di bandara dan banyak tempat lainnya untuk memangkas kehadiran perpustakaan dekat dengan calon penggunanya. Jangan harapkan lagi orang meng-agendakan kegiatan secara khusus untuk berkunjung ke perpustakaan. Karena orang dengan agenda khusus seperti ini tidak lebih dari mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas akhir atau peneliti yang benar-benar membutuhkan buku tercetak ke perpustakaan. Jumlahnya pun tidak banyak.
Perpustakaan harus mampu menjadi agenda sisipan diantara agenda-agenda utama. Menjadi pemantik untuk bisa menghadirkan eksistensi layanan dengan hadir di mana-mana. Kehadiran perpustakaan ini harus memenuhi unsur utama yakni memenuhi kebutuhan dan kecenderungan (need&trend) masa kini.
Perpustakaan-perpustakaan kecil harus muncul di berbagai tempat dengan membangun keterikatan “enggagement” dengan pengelola utama kawasan. Misalnya layanan perpustakaan mini ada di suatu cafe. Perpustakaan mini ini menjadi tanggung jawab pengelola untuk merawat dan menjaga. Pelaku perpustakaan memiliki peran pengontrol dan peng-update secara konsisten atas koleksi baru atau sarana pendukung yang ada. Kolaborasi ini menjadi keharusan mutlak untuk perpustakaan hadir berhasil men-deliver produk dari pola tersentralisasi menjadi terdesentralisasi.
Membangun sebuah institusi yang cukup adaptif dengan Disruption merupakan tantangan tersendiri dari para pelaku di perpustakaan. Namun disruptive mindset merupakan syarat mutlak para pelaku perpustakaan untuk mengenal Disruption lebih dekat. Mari berdiskusi!