Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, ternyata berbanding terbalik dengan masalah banjir di Jakarta. Bila iptek berkembang sangat pesat dengan positf, masalah banjir di Jakarta justru terlihat semakin buruk. Dalam catatan sejarah, banjir besar yang melanda Jakarta justru menjadi semakin sering.
Pada masa 1970-an dan 1980-an, tercatat beberapakali banjir melanda ibu kota, antara lain pada 1976, 1977, 1979, 1980, 1983, dan 1985. Setelah itu, semakin lama banjir yang melanda ibu kota, tercatat semakin menghebat. Mulai dari 1996 sampai yang terbaru pada 2015.
Pada 1976, banjir berlangsung hampir sebulan penuh dari 1 sampai 26 Januari. Curah hujan yang amat tnggi pada 2 Januari 1976 menyebabkan banjir cepat meluas. Di Jalan Thamrin, depan gedung Sarinah, ketinggian air mencapai 20-30 cm. Di Jakarta Utara, luas kawasan yang terkena banjir dari Kali Baru, Koja, Rawa Badak, Penjaringan, Mangga Dua, sampai Teluk Gong, menyebabkan lebih dari 26.000 warga terpaksa mengungsi.
Di Jakarta Selatan, banjir melanda kawasan Bukit Duri dan Manggarai. Di Jakarta Timur, selain di daerah aliran Sungai Ciliwung di Kampung Melayu sampai ke Kesatriaan (Berlan), banjir terjadi karena meluapnya Sungai Klender dan Sungai Cakung. Kawasan Cipinang, Cipinang Muara, dan Kebon Nanas, dilanda banjir. Bahkan sebagian wilayah Monumen Nasional di Jakarta Pusat juga tergenang banjir. Di Jakarta Pusat tercatat tak kurang dari 36.000 warga dari daerah sekitar Kenari, Pegangsaan, Cikini, Kebon Melati, Kebon Kacang, Karet Tengsin, dan Petamburan, harus ikut mengungsi.
Pada 1977, banjir diawali hujan besar yang turun dengan derasnya pada 19 Januari. Saat itu, kawasan yang biasa disebut “Ring 1” – untuk menyebutkan kawasan yang paling dijaga di ibu kota – juga dilanda banjir. Jalan Merdeka Selatan, Merdeka Timur, Silang Monas, Sabang, dan Sarinah, dilanda banjir. Ruang disel Radio Republik Indonesia (RRI) yang terletak di Jalan Abdul Muis, di belakang gedung utama RRI, tergenang air pada 19 Januari itu. Akibatnya RRI sempat tdak mengudara beberapa saat, sebelum akhirnya dengan tekad “sekali di udara tetap di udara”, RRI kembali menyiarkan berita dan hiburan.
Awal 1979, tepatnya selama dua hari 19 dan 20 Januari, terjadi banjir besar yang mengagetkan warga Jakarta. Kapasitas dan luas wilayah terendam banjir, jauh lebih banyak dibandingkan banjir 1976 dan 1977. Hampir sejuta orang terpaksa mengungsi karena tempat tnggalnya diterjang banjir, yang merupakan luapan dari Sungai Ciliwung dan sungai-sungai di sekitarnya.
Jakarta Timur dan Selatan menjadi daerah yang paling menderita. Di kawasan Pondok Pinang, Jakarta Selatan, banjir mencapai 2,5 meter dan tercatat tga orang hilang ditelan banjir. Bahkan lantai dasar Gedung DPR/MPR RI tdak luput dari genangan air. Listrik terpaksa dipadamkan untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan, karena kabel dan saluran-saluran listrik tergenang air. Sidang Pleno DPR yang membahas pandangan umum fraksi tentang Nota Keuangan dan RAPBN terpaksa dipindah dari lantai dasar ke lantai II. Sementara sejumlah mobil pemadam kebakaran dikerahkan untuk menyedot genangan air di lantai dasar gedung wakil rakyat itu.
Untuk menghadapi “serbuan” banjir, Pemerintah kemudian melakukan beberapa perbaikan. Di antaranya membangun sarana pengendali banjir, baik melalui saluran Cengkareng, saluran Cakung, pompa air Siantar, dan pengerukan Sungai Ciliwung, maupun sungai-sungai di sekitar Jakarta. Namun banjir masih terjadi lagi pada 1980. Kali ini bukan disebabkan oleh curah hujan yang tnggi di Jakarta, namun lebih merupakan banjir kiriman dari Bogor. Maraknya penggalian pasir dan batu di sepanjang Sungai Ciliwung dan Cisadane di kawasan Bogor, diduga menjadi salah satu penyebab banjir.
Restu Gunawan dalam bukunya Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa (Jakarta, 2010), mengungkapkan pada 29 Agustus 1981 Presiden Soeharto meresmikan penggunaan Waduk Pluit yang dilengkapi sistem polder untuk mengendalikan genangan air di kawasan Krukut, Cideng, Jatbaru, Taman Sari, Mangga Besar, dan sekitarnya. Pemerintah juga telah mengeruk Sungai Ciliwung, Cideng, Krukut, Grogol, Kaliduri, mengeruk waduk Grogol, bahkan membangun tga pompa baru di daerah Setabudi, Jakarta Selatan. Namun apa daya, banjir kembali melanda Jakarta pada 24 Desember 1981. Tidak kurang dari 200.000 warga mengungsi dan sembilan orang meninggal dunia akibat banjir.
Dua tahun kemudian, pada Januari 1983, banjir kembali menghantam Jakarta. Hujan deras yang mengguyur ibu kota, ditambah buruknya perawatan saluran-saluran air di Jakarta, menjadi penyebab banjir. Bahkan banjir sampai menggenangi kawasan Balai Kota dan Gedung DPRD DKI Jakarta. Kantor Posko Banjir di Balai Kota juga ikut terendam air.
Setahun kemudian, banjir datang lagi. Kawasan Pluit termasuk yang paling parah, karena dua dari empat pompa di Waduk Pluit mengalami kerusakan. Selain Pluit, daerah yang cukup parah tergenang banjir adalah Kapuk Muara, Pekojan, Taman Sari, Harapan Mulia, dan Penjaringan. Sedangkan di Jakarta Timur, mulai dari Kramat Jat, Kampung Makassar, Halim, sampai Kampung Melayu, juga tergenang.
Bila banjir-banjir sebelumnya, umumnya terjadi pada Januari atau akhir tahun, maka pada 1985, banjir terjadi pada Februari. Banjir kiriman dari Bogor ditambah curah hujan yang tinggi, menyebabkan Kali Pesanggrahan meluap. Inilah untuk pertama kali kawasan Cirendeu di Jakarta Selatan, tergenang air. Di Bintaro dan Kebayoran Lama, sekitar 500 rumah tergenang air. Di Jakarta Timur, daerah “langganan banjir” sepert Kampung Melayu dan Bukit Duri, juga membuat sebagian penduduknya terpaksa mengungsi.
Setelah itu, beberapa kali banjir “kecil” menghantam Jakarta. Namun banjir hebat baru kembali terjadi di Jakarta sekitar 10-11 tahun kemudian, yaitu pada 1996. Saat itu, permukiman elit Pantai Indah Kapuk Jakarta Utara yang masih dalam proses pembangunan terendam air akibat saluran Cengkareng meluap. Banjir juga melanda sebagian wilayah permukiman di daerah aliran Sungai Ciliwung. Mulai dari Kampung Melayu, Bukitduri, dan sebagian Slamet Riyadi, Manggarai di Jakarta Timur dan Selatan. Bagi warga di Jalan Slamet Riyadi IV, di perbatasan Jakarta Timur dan Jakarta Selatan, yang terletak di tepi Sungai Ciliwung, inilah untuk kali pertama merasakan sendiri adanya banjir walaupun dalam bentuk genangan air tak seberapa.
Abad Ke-21
Banjir besar berikutnya di Jakarta terjadi setelah memasuki abad ke- 21. Tercatat antara lain pada 2002, 2007, dan 2013. Ini semua membuat banyak pihak yang percaya ada siklus (sekitar) lima tahunan banjir besar di Jakarta. Suatu hal yang sebenarnya tak terlalu tepat, karena pada awal 2015, banjir kembali terjadi di Jakarta. Meskipun banjir terakhir ini dalam skala yang tak terlalu besar.
Menteri Lingkungan Hidup saat itu, Balthasar Kambuaya, memaparkan, potensi bencana banjir 2012 memiliki persamaan pola cuaca dengan tahun 1992 dan 2006. Selain faktor cuaca, potensi banjir juga disebabkan laju kerusakan lingkungan, sepert berkurangnya tutupan lahan dan daerah resapan. Menteri juga menyinggung perilaku masyarakat yang masih suka membuang sampah sembarangan, menjadi penyebab terjadinya banjir di Jakarta. (https://megapolitan.kompas.com/read/2012/01/12/13444237/Potensi.Bencana.Banjir.2012.Sama.dengan.1992.dan.2006). Laju kerusakan lingkungan, tak pelak menjadi faktor dominan sebagai penyebab terjadinya banjir di Jakarta.
Banjir pada 2002 merupakan kejadian yang mengenaskan untuk sebagian pihak. Cukup banyak yang menjadikan 2 Februari 2002 (02.02.02) sebagai hari istmewa, dan sejumlah calon pengantin menetapkan tanggal itu sebagai tanggal pernikahan mereka. Apa mau dikata, banjir hebat yang melanda Jakarta justru puncaknya terjadi pada 2 Februari 2002. Ini diakibatkan pada dua hari sebelumnya, 31 Januari dan 1 Februari 2002, curah hujan yang turun tercatat paling tinggi.
Curah hujan pada akhir Januari sampai awal Januari 2002 rata-rata 434 mm/bulan, dengan curah hujan tertnggi pada Januari yakni tanggal 29 dan 31 masing-masing sebesar 108 dan 75 mm/hari. Sedangkan pada Februari curah hujan terbesar tercatat pada 1 Februari sebesar 83 mm/hari. Bandingkan dengan hujan rata-rata bulanan yang hanya sekitar 140 – 160 mm/bulan.
Lima tahun kemudian, banjir kembali melanda ibu kota. Hampir dua pekan, sejak 1 Februari malam hari sampai 12 Februari 2007, banjir menggenangi banyak tempat di Jakarta. Kerusakan harta benda mencapai US$ 400 juta, sementara korban jiwa 80 orang. Selain sistem drainase yang buruk, banjir berawal dari hujan lebat yang berlangsung sejak sore hari 1 Februari hingga keesokan harinya 2 Februari. Belum lagi banyaknya volume air 13 sungai yang melintasi Jakarta yang berasal dari Bogor-Puncak-Cianjur, ditambah air laut yang sedang pasang. Akibatnya hampir 60 persen wilayah DKI Jakarta terendam banjir dengan kedalaman mencapai hingga lima meter di beberapa titik lokasi banjir.
Curah hujan yang amat tnggi pada awal Februari 2007, menyebabkan wilayah genangan air tercatat meluas dibandingkan keadaan pada banjir 1996 dan 2002. Tercatat pula 80 orang dinyatakan tewas karena terseret arus, tersengat listrik, atau sakit. Kerugian material akibat matinya perputaran bisnis mencapai triliunan rupiah. Jumlah warga yang mengungsi mencapai hampir 500.000 orang.
Hujan deras juga menyebabkan tanggul jebol di Kanal Banjir Barat (KBB) tepat di aliran Kali Sunter. Air meluber langsung ke perkantoran dan perumahan warga. Bahkan kawasan Jatibaru, Tanah Abang, dan Petamburan, tergenang air hingga setinggi dua meter.
Di Jakarta Timur, kawasan Kampung Melayu Besar paling parah tergenang. Sementara di Jakarta Utara, mulai dari Marunda, Rorotan, Koja, Kelapa Gading, hingga ke Sunter, Tanjung Priok, Pademangan, Angke, Pluit, dan Kapuk, tak luput dari terjangan banjir. Tinggi genangan bervariasi, 30 sentmeter hingga 1 meter. Kawasan Jakarta lainnya juga tak luput dari genangan air. Kondisi banjir juga diperparah dengan padamnya listrik selama beberapa hari.
Arus banjir menggerus jalan-jalan di Jakarta dan menyebabkan berbagai kerusakan yang memperparah kemacetan. Diperkirakan sebanyak 82.150 meter persegi jalan di seluruh Jakarta rusak ringan sampai berat. Kerusakan beragam, mulai dari lubang kecil dan pengelupasan aspal sampai lubang-lubang yang cukup dalam. Kerusakan yang paling parah terjadi di Jakarta Barat, tempat jalan rusak mencapai 22.650 m², disusul Jakarta Utara (22.520 m²), Jakarta Pusat (16.670 m²), dan Jakarta Selatan (11.090 m²). Kerusakan jalan paling ringan dialami Jakarta Timur, yang hanya menderita jalan rusak seluas 9.220 m².
Banjir juga membuat sebagian jalur kereta api lumpuh. Lintasan kereta api yang menuju Stasiun Tanah Abang tdak berfungsi karena jalur rel di sekitar stasiun itu digenangi air luapan Sungai Ciliwung. Sementara, penyakit kulit, infeksi saluran pernafasan atas (ispa), dan diare, mulai menjangkit di mana-mana. Dinas Kesehatan DKI Jakarta dan seluruh aparat kesehatan di Puskesmas dan rumah-rumah sakit, siaga 24 jam untuk menolong korban banjir yang menderita penyakit.
Akibat banjir tersebut, banyak pihak menduga-duga bahwa sesuai siklus banjir lima tahunan di Jakarta, maka banjir besar berikutnya akan melanda lima tahun sesudah 2007, yaitu pada 2012. Memang, pada Desember 2012, sebagian kecil wilayah di Jakarta sudah mulai terkena dampak banjir, namun puncaknya barulah pada Januari 2013. Bahkan kompleks Istana Negara juga terendam banjir.
Hingga pertengahan Januari 2013, Jakarta tercatat mencapai rekor curah hujan hingga 250-300 mm, melebihi kondisi banjir Jakarta 2002 yang mencapai 200 mm, namun masih di bawah kondisi banjir Jakarta 2007 yang mencapai 340 mm. Jalan-jalan utama di Jakarta, sepert Jalan Sudirman, Thamrin, sampai ke kawasan Medan Merdeka, digenangi air. Walaupun banyak pihak mengatakan buruknya drainase dan sampah yang menumpuk merupakan salah satu penyebab utama banjir, namun ada pula yang mengatakan hal itu disebabkan pompa yang telah disediakan tdak mampu mengimbangi tngginya aliran air yang hendak dipindahkan ke Kanal Banjir Barat.
Selain kerugian ekonomi mencapai triliunan rupiah, banjir juga menelan 20 korban jiwa. Tercatat 33.500 orang terpaksa mengungsi. Akibat jebolnya tanggul di Jalan Latuharhary itu.
Banjir kali ini juga menyebabkan sejumlah tanggul jebol. Bila pada Desember 2012, tanggul di Kali Cipinang dan Kali Laya Pekayon – keduanya di Jakarta Timur – jebol, maka pada 15 Januari 2013, tanggul di Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, juga jebol akibat hantaman banjir setnggi dua meter. Berikutnya, dua hari kemudian, tanggul Kanal Banjir Barat di daerah Latuharhary, Jakarta Pusat, ikut jebol. Perumahan elit di kawasan Menteng dan sejumlah kawasan bisnis di Sudirman-Thamrin, ikut terkena dampaknya. Genangan air melebar di kawasan-kawasan tersebut. Gubernur DKI Jakarta saat itu, Joko Widodo, ikut turun tangan membantu langsung perbaikan tanggul di Jalan Latuharhary tersebut.
Selain kerugian ekonomi mencapai triliunan rupiah, banjir juga menelan 20 korban jiwa. Tercatat 33.500 orang terpaksa mengungsi. Akibat jebolnya tanggul di Jalan Latuharhary itu, peristwa mengenaskan terjadi di gedung UOB yang terletak di dekat Bundaran Hotel Indonesia. Sedikitnya dua orang meninggal dunia dan 47 mobil terendam di lantai bawah gedung UOB itu.
Banjir kali ini kembali menyebabkan daerah Pluit ikut terendam. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kemudian menawarkan relokasi kepada penghuni rumah liar di sekitar Waduk Pluit untuk pindah ke rumah susun yang diberikan fasilitas sangat lengkap, dengan alasan mengurangi dampak banjir di masa depan dan memungkinkan peralatan berat bekerja untuk mengeruk waduk.
Seusai banjir itu, sebagian warga Jakarta mengira bahwa banjir berikutnya akan datang lima tahun lagi, atau sekitar 2018. Ternyata dua tahun kemudian, tepatnya pada 2015, banjir pun menerjang Jakarta. Banjir bermula dari curah hujan tnggi pada 8 Februari 2015 sore hari, dan keesokan harinya, ibu kota pun “dikepung” air. Memang dibandingkan sebelumnya, banjir kali ini tak terlalu hebat dalam luas wilayah maupun kerugian yang diakibatkannya. Namun tetap saja, banjir “menghantui” warga Jakarta.
Tercatat sedikitnya 52 ttk banjir tersebar seantero Jakarta. Beberapa kawasan terparah yang sempat tergenang air berada di Kelapa Gading, Mangga Dua, dan Grogol. Genangan air juga terdapat di kawasan Medan Merdeka yang melingkupi kompleks Istana Negara di Jalan Merdeka Utara dan Balai Kota DKI Jakarta di Jalan Merdeka Selatan.
“Banjir terus, banjir terus, kapan Jakarta bebas banjir?”, begitu mungkin yang sudah sering dikeluhkan warga Jakarta. Banyak pengamat menyebutkan penataan saluran air di Jakarta harus menjadi prioritas. Sungai Ciliwung sebagai sungai utama yang melintasi ibu kota, tetap harus diperhatkan, dijaga, dan dirawat. (Berthold DH Sinaulan)