Oleh Thian Wisnu Isnanto, Pustakawan Ahli Pertama Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi DKI Jakarta
Pendahuluan
Penyebaran Corona Virus Disease-2019 atau COVID-19 di Indonesia tidak hanya melumpuhkan sektor perekonomian namun juga sektor layanan publik, salah satunya adalah perpustakaan.
Banyak perpustakaan yang ditutup layanannya sebagai salah satu usaha mencegah penyebaran virus ini dan juga sebagai usaha dalam penerapan protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah. Karena wajar saja, perpustakaan sebagai salah satu pusat berkumpulnya orang. Orang yang berkunjungpun tidak hanya sekedar untuk meminjam buku saja, tapa dengan transformasi layanan perpustakaan yang beragam, perpustakaan sudah menjadi tempat edutaintment, tempat rekreasi yang mendidik.
Di samping itu, buku di perpustakaan dikhawatirkan bisa menjadi media penularan melaui sentuhan yang tidak terhindarkan, karena berdasarkan Kampf, Todt, Pfaender, dan Stenmann dalam artikelnya di Journal of Hospital Infection yang diterbitkan bulan Maret Covid-19 dapat bertahan pada media kertas hingga 4-5 hari, sedangkan pada media plastik yang biasa menjadi sampul bagi buku, virus ini dapat bertahan hingga 6-9 hari.
Padahal perpustakaan harus dapat berinovasi untuk dapat terus melayani pemustakanya yang haus bahan bacaan. Lalu bagaimana menjawab kebutuhan layanan perpustakaan di masa pandemi ini. Untuk menjawab ini, penulis akan mengambil contoh studi kasus di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi DKI Jakarta.
Otomasi di perpustakaan
Aplikasi otomasi perpustakaan baik yang close source maupun open source masih belum bisa menjawab kebutuhan untuk mendalami pandemi ini, walaupun seperti kita ketahui aplikasi tersebut sudah mempunyai fitur untuk mengunggah file digital seperti buku-buku yang sudah dialihmediakan ke dalam format PDF, sehingga pemustaka dengan mudahnya tidak hanya dapat menelusur katalog buku melalui Online Access Public Catalog (OPAC) tapi juga dapat sekaligus mengunduhnya. Namun apakah ini legal? bagaimana nasib para penulis yang merasa dibajak karyanya?
Penulis pernah bertanya pihak Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mengenai kegunaan fitur tersebut dalam aplikasi otomasi yang mereka bangun dan sebarluaskan secara gratis, yaitu Inlislite. Fitur tersebut sebenarnya digunakan untuk mengunggah bahan-bahan koleksi yang tidak memiliki hak cipta, seperti karya siswa di sekolah contohnya, dengan tujuan untuk menstimulus siswa berkarya dan merasa bangga jika karyanya dapat dimuat dalam aplikasi tersebut.
Perpustakaan Digital dan Hak Cipta
Kita tahu aplikasi Spotify, dimana seseorang dapat bebas mendengarkan lagu secara legal. Walaupun terdapat tombol download, namun Anda jangan berharap lagu-lagu yang di download itu akan menjadi sebuah file yang lantas Anda bisa bagikan melalui flash disk atau media transfer file lainnya.
Fitur download dalam aplikasi Spotify, digunakan untuk memudahkan penggunanya memutar lagu dalam keadaan offline, sehingga terjaga dari penyebarluasan yang tidak bertanggung jawab. Di samping itu para penyanyi tersebut tetap mendapatkan royalti dari Spotify entah dalam bentuk kerjasama seperti apa saya tidak mendalaminya.
Aplikasi untuk kategori filmpun sudah banyak yang mengusung konsep ini, salah satunya contohnya Netflix, bahkan anda tidak bisa meng-capture tampilan film yang anda tonton melalui handphone Anda, yang akan muncul hanya barisan subtitle dengan latar belakang hitam. Masih banyak lagi contoh deretan aplikasi-aplikasi yang menerapkan hal serupa untuk menjaga hak cipta dari sebuah karya.
Konsep ini juga diterapkan pada perpustakaan digital, dimana seseorang dapat meminjam buku, mendownloadnya, namun fitur download ini hanya untuk memudahkan pemustaka membaca buku secara offline melalui aplikasi perpustakaan digital tersebut. Sebut saja aplikasi Ijakarta yang dimiliki oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi DKI Jakarta (DISPUSIP). Perpustakaan Digital Ijakarta dapat diunduh melalui Playstore untuk platform Android, maupun di Appstore untuk platform IOS
Dengan Digital Right Management, buku yang muncul dalam perpustakaan digital inipun disesuaikan dengan eksemplar yang dibeli. Misalkan DISPUSIP sebagai pengelola Ijakarta hanya membeli 4 eksemplar ke penerbit, maka buku yang muncul dalam rak digital hanya 4 saja. Walaupun secara fisik hanya ada satu file PDF yang tersimpan di server.
Lalu bagaimana jika keempat buku itu sudah habis dipinjam? maka peminjam ke lima harus rela masuk dalam antrian. Hal ini sangat mirip dengan konsep perpustakaan konvensional yang mengkoleksi buku fisik, ketika buku fisik habis, tentu pemustaka lainnya harus menunggu giliran selanjutnya, ini menarik, penggabungan perpustakaan digital dan konvensional dalam satu aplikasi.
Banyak yang bertanya kepada penulis di berbagai forum, mengapa harus dibatasi sedemikian rupa? mengapa tidak dibebaskan saja seluas-luasnya seperti Spotify, sehingga tidak ada antrian.
Jawabannya, pertama karena Ijakarta dikelola oleh lembaga pemerintahan non-profit, kedua karena jumlah keuntungan yang didapat dari penulis adalah eksemplar yang terjual.
DISPUSIP sebagai pemilik aplikasi ini, sangat menghormati hak cipta dari sebuah karya tulis. Jika tidak dibatasi sesuai dengan jumlah eksemplar yang dibeli, maka darimana keuntungan para penulis tersebut, apa bedanya dengan mengunggah karya tulis mereka ke dalam aplikasi otomasi perpustakaan tadi? apa bedanya dengan para pembajak karya tulis yang menyebarkan melalui website-website demi meraih keuntungan pribadi. Ijakarta memperlakukan buku digital seperti layaknya buku fisik. Sehingga penulis dan penerbit dapat dengan tenang menjual file digitalnya.
Jadi menurut hemat Penulis, aplikasi otomasi perpustakaan bukanlah perpustakaan digital sesungguhnya. Karena perpustakaan digital dalam bayangan Penulis adalah perpustakaan yang benar-benar dapat memberikan akses pemustaka langsung kepada buku secara gratis, tanpa merugikan pihak tertentu.
Penutup
Di Era IOT (Internet Of Thing) terjadi perubahan perilaku manusia dari yang biasanya “lebih takut ketinggalan dompet” berubah menjadi “lebih takut ketinggalan handphone’. Hal ini sudah menjadi hal lumrah ketika handphone dapat mewakili semua transaksi pembayaran, bahkan beberapa bank memberikan kemudahan penarikan tunai di ATM dengan handphone.
Perpustakaan Digital sebagai salah satu bentuk transformasi digital dalam pengembangan layanan perpustakan, tampaknya menjadi salah satu bentuk alternatif untuk mendekatkan pemustaka ke koleksi perpustakaan, tanpa harus keluar rumah disaat pandemi ini,
Karena perpustakaan digital tidak memiliki keterbatasan-keterbatasan yg dimiliki perpustakaan konvensional pada umumnya, seperti jarak, ruang dan waktu. Apalagi dengan kondisi padatnya pemukiman di Jakarta, minimnya lahan kosong dan mahalnya harga tanah serta properti. Berapa banyak anggaran yang dapat dihemat untuk pembangunan satu perpustakaan saja.
Dengan segala alasan tadi apakah perpustakaan digital akan menggantikan perpustakaan konvensional? menurut hemat penulis tidak, karena penulis sendiri masih menemukan orang-orang yang memilih untuk untuk membaca buku fisik. Bahkan tipikal orang ini rela untuk merogoh kocek untuk membelinya. Alasannya sepele yakni alasan sentimentil tersendiri yang dirasakan ketika memegang buku fisik ketimbang membaca melalui perangkat.
Sumber:
Kampf, G., Todt, D., Pfaender, S., & Steinmann, E. (2020). Persistence of Coronaviruses on Inanimate Surfaces and Their Inactivation with Biocidal Agents. The Journal of Hospital Infection, Volume 104, Issue 3, Pages 247. https://doi.org/10.1016/j.jhin.2020.01.022
Ratnasari, Dini (2020). Disinfeksi Koleksi Perpustakaan di Masa Pandemi. https://dispusip.jakarta.go.id/dispusip/2020/04/14/disinfeksi-koleksi-perpustakaan-di-masa-pandemi/#_ftnref1. Diakses tanggal 4 November 2020