Dispusip-Suasana bulan Syawwal masih terasa di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, ini tergambar dengan diadakan Halal Bihalal. Tidak hanya karyawan Dispusip, kali ini mengundang pula para ibu Dharmawanita dan UPT Perparkiran yang letaknya bersebelahan dengan Gedung Kantor Dispusip.
Dalam sambutannya Suryanto selaku kepala bidang P2PKM yang merangkap sebagai ketua panitia mengapresiasi kinerja panitia yang telah mensukseskan acara ini. Disamping itu pria yang akrab dipanggil Yanto ini mengharapkan dengan acara ini dapat menguatkan ukhuwah diantara rekan-rekan kerja sehingga dapat tercapai tujuan bersama.
Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Wahyu Haryadi dalam kesempatan ini menghimbau untuk dapat berkolaborasi dan berinovasi agar dapat menjadikan Kota Jakarta yang maju kotanya, bahagia warganya.”Kalau bisa, sampai warga Jakarta merasa bersyukur bisa jadi Warga Jakarta,” kilahnya diselingi tawa para hadirin.
Tradisi Halal Bihalal
Tradisi halal bihalal, menurut Ustadz Mukhlis, yang ditunjuk sebagai penceramah dalam kegiatan ini mengatakan, sudah ada sejak jaman Presiden Sukarno. Di Tahun 1965, ketika Indonesia sedang diguncang oleh perpecahan dari internal, tercetuslah untuk mengadakan acara ramah tamah. Dengan berkonsultasi dengan salah satu pendiri NU, Ustadz Abdul Wahab Hasbullah, hingga tercetuslah kata halal bihalal, yang hingga kini sering diadakan dimana-mana.
Namun sumber lain mengatakan, sejarah yang paling populer mengenai asal-usul tradisi halal bihalal ini yaitu sebuah tradisi yang dimulai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I, atau dikenal dengan Pangeran Sambernyawa, yang ketika itu memimpin Surakarta mengumpulkan para punggawa dan prajurit di balai istana untuk melakukan sungkem kepada Sang Raja dan Permaisuri setelah perayaan Idul Fitri. Hal ini dilakukan untuk menghemat tenaga dan biaya. Sejak saat itu, kunjungan terhadapi orang yang lebih tua atau berkedudukan lebih tinggi untuk meminta maaf pada perayaan Idul Fitri menjadi tradisi tersendiri.
Istiqomah
Ustadz Mukhlis mengatakan bahwa ujian terberat itu sebenarnya setelah ibadah itu dilakukan, “Seseorang yang dikatakan hajinya mabrur itu, apabila sekembalinya ia dari Tanah Suci, tetap istikomah menjalankan perintah Allah SWT,” tandasnya. “yang sering kita temui dibulan Ramadhan si fulan ngajinya rajin, tapi setelah bulan ramadhan selesai berakhir pula ngajinya,” tambahnya.
Ia mengajak segenap hadirin untuk menjadikan ini momentum untuk mengoptimalkan tidak hanya hubungan kepada Allah SWT, namun juga hubungan antar sesama. (Thian/Foto: Biranta)